Masa kecilku dulu

Masa-masa kecilku yang indah bersama keluargaku tercinta.

Teman-teman Seperjuangan di PKU

Terlalu banyak kenangan yang ada di sini.

This is My Family

Keluargaku tercinta. Sumber inspirasi, semangat dan motivasi...

Aku dan Dekanku

Foto bersama dekan dengan baju toga, awesome!

Stavol-Stavol Siman

These all are my dudes.

Minggu, Oktober 27, 2013

Resensi: Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?

Buku ini merupakan terjemahan dari buku panduan mengenai kebebasan beragama yang telah diterbitkan di Norwegia pada tahun 2004. Buku ini menyoroti kebebasan beragama dari berbagai macam aspek, baik dari sisi religius, sosial, budaya, politik dan hukum. Buku ini ditulis dalam bentuk bunga rampai, dan editor menekankan bahwa antara satu tulisan dengan tulisan lainnya bisa jadi memiliki gagasan dan pandangan yang berbeda.

Secara umum, buku ini terdiri dari 13 bab dan masing-masing bab terdiri dari satu tulisan. Sebagai awal, editor menempatkan dua tulisan mengenai analisis historis kebebasan beragama serta justifikasi filosofis dan keagamaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang ditulis oleh Malcolm D Evans dan Tore Lindholm. Kemudian dilanjutkan mengenai kajian sifat, standar minimum dan batasan-batasan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kajian ini ditulis oleh Natan Lerner dan Manfred Nowak serta Tanja Vospernik. Setelah memahami sifat dan batasan yang ada, editor menempatkan tulisan mengenai kajian sistem legal di Eropa mengenai kebebasan beragama serta perumusan undang-undang asosiasi keagamaan yang dianggap perlu. Pembahasan ini dilakukan oleh Javier Martinez, Rafael Navarro Valls dan W Cole Durham Jr.  Bagian selanjutnya membahas mengenai perempuan yang melawan arus keagamaan untuk menyuarakan kesetaraan gender yang dikaji oleh Bahia G Tahzib Lie.

Selanjutnya, editor memasukkan tulisan-tulisan mengenai hal yang sangat sensitif dalam pembahasan kebebasan beragama, yaitu sistem pemujaan, hak persuasif keagamaan dan hak penyebaran agama. Bagian ini ditulis oleh Eileen Barker, Tad Stahnke dan Makau Mutua. Selanjutnya, editor memasukkan tulisan mengenai humanisme dan kebebasan dari agama yang ditulis oleh Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule. Setelah pembahasan berbagai macam wacana itu, barulan editor memasukkan tulisan mengenai toleransi yang digalakkan melalui pendidikan agama yang ditulis oleh Ingvill Thorson Plesner. Tulisan terakhir berupa contoh faktual mengenai kebebasan beragama di Indonesia lengkap dengan perlindungan normatifnya yang ditulis oleh Nicola Colbran. Dalam buku ini juga dilampirkan lampiran-lampiran yang dianggap penting, seperti hasil konferensi Oslo mengenai kebebasan beragama, ketentuan-ketentuan Internasional utama berkenaan dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan lain sebagainya.

Buku ini memiliki kelebihan dari segi kekayaan kajiannya yang sangat luas. Namun pada akhirnya ada beberapa tulisan yang terkesan tumpang tindih dan saling bertentangan dengan tulisan lainnya. Dalam satu tulisan terdapat ajakan menuju humanisme, di tulisan lain menyarankan pendidikan agama. Bagi pembaca yang mengharapkan gagasan utuh dari buku ini, akan dihadapkan pada suatu kebingungan dalam menangkap poin inti dari buku ini.

Memang buku ini ditulis pada awalnya sebagai deskbook (buku panduan), sehingga tulisan-tulisan yang ada di dalamnya sangatlah beragam. Pembaca memang harus menangkap ide-ide dalam masing-masing tulisan secara independen sehingga dapat mendapatkan sesuatu dari buku ini. Sangat disayangkan juga, buku ini tidak mencantumkan satupun tulisan mengenai kebebasan beragama dalam Islam, sehingga tidak ada pembanding yang sepadan dengan konsep kebebasan beragama di barat yang dijabarkan panjang lebar dalam buku ini. Wallahu A’lam.


Judul Asli        : Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook
Penerjemah      : Rafael Edy Bosko dan M Rifa’i Abduh
Editor              : Neni Indriati Wetlesen
Penerbit           : Kanisius Yogyakarta
Cetakan           : I, 2010
Halaman          : xvii + 829 halaman

Sabtu, Oktober 26, 2013

Resensi: Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial

Buku ini mengulas apa yang disebut oleh penulisnya sebagai ‘agama masa depan’. Penulis buku ini menggunakan perspektif filsafat perenial, sehingga buku ini amat kental dengan aroma pluralisme yang mengusung kesetaraan agama-agama.

Sebagai permulaan dari buku ini, penulis menyampaikan mengenai apa itu filsafat perennial dan mengapa bidang ilmu ini tepat digunakan untuk memahami agama. Menurut penulis buku, dengan berlandaskan kepada filsafat perennial, tetap mengakui adanya pluralitas agama, tapi semua agama itu memancar dari kebenaran mutlak (The Truth) yang dengan demikian dapat memperlebar pintu kebenaran sehingga dari sini dapat dipahami bahwa konsep tauhid dalam Islampun tidak lagi eksklusif, melainkan hati dari setiap agama. Berangkat dari pemahaman tersebut, penulis buku mengutarakan bahwa sebenarnya tuhan yang ada dalam agama-agama yang ada di dunia itu sejatinya adalah sama, hanya namanya saja yang berbeda. Menurutnya, perbedaan nama tersebut disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa bahasa manusia tidak akan mampu mengekspresikan wahyu tuhan secara sempurna, sehingga di sana akan tetap ada jarak antara proposisi kognitif yang dibangun oleh nalar manusia di satu sisi dan hakikat tuhan yang tak terjangkau pada sisi lain.

Dengan berlandaskan pemahaman-pemahaman tersebut, muncullah paham-paham keagamaan dewasa ini. Penulis buku menjelaskan setidaknya ada empat paham yang muncul, yaitu deisme (faith without religion), gerakan falsafah kalam (theo-philosopical movement), skriptualis-ideologis dan kebangkitan etno-religius. Kemudian penulis berkesimpulan bahwa munculnya paham-paham ini menandakan adanya perkembangan pemahaman manusia mengenai agama yang kemudian karena sifatnya yang berkembang maka penulis menyebut agama sebagai produk sejarah. Pada akhirnya, penulis buku berkesimpulan bahwa agama masa depan menolak paham aboslutisme memilih apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai relatively absolute. Dengan kata lain, banyak jalan untuk menuju kasih sayang dan kecintaan tuhan, tidak bisa dimonopoli oleh satu agama saja.

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa penulis buku tidak mempercayai adanya satu agama dengan kebenaran mutlak, sehingga semua agama dapat mencapai kebenaran mutlak tersebut. Pengaruh Schuon sangat kental dalam tulisan ini, sehingga landasan kajiannya menjadi rancu dan menafikan abolutisme tuhan agama-agama.

Sebagai kesimpulan, buku ini merupakan buku ‘sesat-menyesatkan’ yang tidak patut dibaca oleh orang awam yang tidak memahami agama, karena dapat terjebak dalam pemahaman yang keliru. Wallahu A’lam.

Penulis             : Komarudin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Cetakan           : I, Maret 2003
Halaman          : vi + 248

Jumat, Oktober 18, 2013

Resensi: Poros-Poros Ilahiyah, Perempuan dalam Lipatan Pemikiran Muslim Tradisional versus Liberal

Buku ini merupakan buku yang ditulis untuk mengetahui isu gender yang ada dalam dunia Islam tradisional dan Islam liberal. Untuk mewakili dunia Islam tradisional, penulis buku menggunakan tokoh Murtadha Muthahhari, seorang ulama’ Syi’ah pada awal abad kedua puluh. Untuk mewakili dunia Islam liberal, penulis buku memilih Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam liberal pada pertengahan abad kedua puluh. Kedua tokoh ini dipilih oleh penulis karena keduanya memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran mainstream yang ada saat itu.

Buku ini terbagi kepada dua bagian besar.  Bagian pertama membahas mengenai relasi gender dalam pandangan poros tradisional yang diwakili oleh Murtadha Muthahhari. Dalam bagian ini, penulis buku membahas banyak hal, mulai dari wacana yang muncul, kerangka dan konsep berpikir Muthahhari, hingga intisari pemikirannya. Di sini, penulis buku menerangkan bahwa pemikiran Muthahhari tentang relasi gender banyak terfokus pada hukum keluarga, seperti poligami, talak, waris dan mut’ah. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh munculnya rezim Pahlavi (1925-1979) di Iran yang gencar melakukan westernisasi di segala aspek kehidupan. Sumbangsih pemikiran Muthahhari banyak disumbangkan untuk melawan arus westernisasi yang kencang pada waktu itu. Meski demikian, ia tidak serta merta terjebak pada arus pemikiran ulama’ salaf yang menurutnya masih bias gender, namun ia dengan pemikirannya mengusung kesetaraan gender, namun bukan kesetaraan identik yang diinginkan barat ketika itu, melainkan kesetaraan kontekstual.

Pada bagian kedua, dijelaskan secara panjang lebar mengenai poros liberal yang diwakili oleh Muhammad Syahrur. Pola pembahasan dalam bagian ini tidak persis sama dengan pembahasan bagian pertama, di mana dalam bagian ini dijelaskan biografi Syahrur, kemudian sumbangsihnya kepada pemikiran Islam secara umum dan terakhir pemikirannya mengenai problem relasi gender. Dalam bagian ini, penulis buku menjelaskan bahwa Syahrur, seorang sarjana teknik lulusan Moskow, menggunakan metode defamiliarization di mana Syahrur mengedepankan metode penelitian bahasa yang ‘tidak biasa’ dan mengesampingkan proses otomisasi. Hal ini menjadikan pemikiran-pemikirannya sangat liberal dan bertolak belakang dengan pemikiran ulama’ salaf. Dalam kaitannya dengan problem relasi gender, Syahrur mengadopsi pemikiran-pemikiran barat yang ‘menyetarakan’ perempuan dan laki-laki, kemudian menafsirkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat mengakomodir pemikirannya tersebut.

Dari sedikit penjelasan di atas, terlihat bahwa penulis buku tidak ‘mendudukkan’ Islam dengan benar. Bagaimana mungkin kubu Islam yang menurutnya ‘tradisional’ diwakili oleh seorang Syi’ah, padahal masih banyak ulama’ulama’ yang lebih kompeten dalam pemahaman teks-teks agama, seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, hingga Wahbah Zuhaili. Ditambah lagi dengan penamaan buku ‘poros ilahiyah’, seakan ingin membentuk opini pembaca bahwa dalam Islam ada dua poros yang dapat dirujuk, yang keduanya ternyata sama-sama sesat, yaitu syi’ah dan liberal.

Terakhir, buku ini cukup baik dalam memberikan penjelasan mengenai tokoh-tokoh terkait di dalamnya, yaitu Muthahhari dan Syahrur. Namun pemilihan judul yang ‘apik’ pada akhirnya dapat mengecoh pembaca sehingga terjebak pada keragu-raguan dan kebingungan. Wallahu A’lam.



Penulis             : M Nashirudin, M.Ag. dan Sidik Hasan, M.Ag.
Penerbit           : Jaring Pena Surabaya
Cetakan           : I, Februari 2009
Halaman          : x + 294 halaman

Rabu, Oktober 16, 2013

Resensi: Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia

Buku ini berbicara mengenai apa itu gender dan bagaimana strategi pengarusutamaannya di Indonesia. Dari judul tersebut, terlihat bahwa penulis buku ini merupakan salah satu pendukung gerakan kesetaraan gender di Indonesia, ditambah lagi dengan pengalamannya dalam proyek Gender Mainstreaming yang diprakarsai oleh United Nations Development Programme dan Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, mempertegas posisinya sebagai salah satu pendukung gerakan gender. Dengan demikian, buku ini pada akhirnya banyak menggunakan pandangan-pandangan sepihak yang cenderung menguntungkan argumen-argumennya saja.

Pada pendahuluan buku ini, Riant mengungkapkan bahwa gerakan kesetaraan gender berbeda dengan feminisme. Dalam bab I, ia menjelaskan mengenai apa itu gender serta membedakannya dengan seks. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa gender differences yang ada dalam masyarakat luas menimbulkan gender inequalities yang mengakibatkan marginalisasi, subordinasi, stereotype, violence dan pembebanan pekerjaan ibu rumah tangga. Ketidakadilan tersebut menimbulkan perspektif gender di mana pada akhirnya berimplikasi pada pembedaan perlakuan seseorang berdasarkan jenis kelamin. Di bab II, ia memperjelas kembali kondisi tersebut dengan memberikan latar belakang perempuan dalam perspektif sejarah. Selanjutnya, dalam bab III ia menjelaskan berbagai macam aliran feminisme dan kesetaraan gender, seperti feminisme radikal, liberal, radikal libertarian, radikal kultural, hingga feminisme Islam yang kesemuanya bersama memperjuangkan perempuan yang kerap tertindas karena status gendernya.

Dalam pembahasan gender di Indonesia, Riant membahasnya dalam 4 bab selanjutnya. Dalam bab IV, ia menjelaskan pergerakan wanita Indonesia sejak zaman pra kemerdekaan hingga era reformasi. Setidaknya ia membagi perjuangan perempuan Indonesia ke dalam empat tahap. Tahap pertama pada zaman pra kemerdekaan, di mana dalam zaman ini mulai muncul gerakan yang menginginkan perempuan tampil di depan umum. Setelah itu pada era pasca kemerdekaan hingga 1965 lebih banyak diwarnai oleh pergerakan perempuan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian pada era orde baru, yang ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi perempuan, termasuk di dalamnya Pusat Studi Wanita. Dan terakhir era reformasi yang ditandai dengan gerakan yang memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan Indonesia. Pada bab selanjutnya, diterangkan bahwa kebudayaan Indonesia ternyata sangat bias gender. Riant mencontohkan kebudayaan yang ada di Batak, Minangkabau, Jawa, Minahasa dan Bali yang masih menganggap perempuan sebagai the second sex. Sebagai langkah antisipasi, ia menyelipkan satu bab yang membahas Gender sebagai agenda, di mana gerakan ini pertama kali muncul di Washington pada tahun 1970an dengan istilah Women in Development  yang kemudian berubah menjadi Gender and Development, yang mengusung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Berangkat dari situ, muncullah gerakan-gerakan seperti gender mainstreaming, gender budget, dan lain sebagainya. Terakhir, Riant menyusun strategi yang bersifat teknis guna mengupayakan pengarusutamaan gender, yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan administrasi publik. Setelah menjelaskan strategi, kebijakan dan mekanisme yang harus ditempuh, Riant juga menekankan perlunya lembaga-lembaga penunjang yang dapat menyokong terwujudnya hal tersebut.

Buku ini, dalam pembahasannya ternyata banyak memiliki kecacatan metodologis dan kerancuan epistemologis. Riant banyak mengambil argumen setengah-setengah dan tidak komprehensif, seperti kesalahannya dalam mengutip pendapat Ratna Megawangi yang jelas kontra gerakan persamaan gender. Selain itu, Riant nyaris tidak menyentuh sama sekali aspek institusi keluarga dan selalu berusaha membentuk opini pembaca bahwa perempuan yang baik adalah yang memiliki peran setara dengan laki-laki, tanpa memikirkan perannya sebagai seorang ibu. Riant juga menafikan peran Islam di Indonesia, padahal Islam sebagai agama mayoritas penduduk rakyat Indonesia harus dijadikan dasar atas segala tindak tanduk penganutnya yang ada di Indonesia.


Dengan melihat hal-hal tersebut, buku ini tidak direkomendasikan untuk orang-orang awam, dan dapat dibaca oleh kalangan akademisi selama dapat meletakkan buku ini dalam porsinya sebagai ‘buku sesat’. Wallahu A’lam.

Penulis             : Dr. Riant Nugroho
Penerbit           : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan           : I, November 2008
Halaman          : 265 halaman

Selasa, Oktober 15, 2013

Pengertian Fungsi Produksi Constant Elasticity of Substitution (CES)


Fungsi produksi adalah rumusan yang menjelaskan mengenai jumlah output maksimum yang dapat diproduksi dari beberapa kombinasi input yang berbeda dengan teknologi tertentu.[1] Di sini, saya bermaksud untuk menguraikan fungsi produksi elastisitas substitusi yang konstan atau lebih dikenal dengan Constant Elasticity of Substitution (CES).

Fungsi produksi CES ini pertama kali dikenalkan oleh Robert M Sollow pada tahun 1956.[2] Namun fungsi produksi ini mulai banyak dikenal ketika Sollow menulis sebuah artikel jurnal bersama K.J. Arrow dan H.B. Chenery pada tahun 1961 dengan makalah berjudul Capital Labor Substitution and Economic Efficiency. Dalam tulisan tersebut, mereka menjelaskan teori fungsi produksi CES yang mereka tawarkan berbeda dengan teori fungsi produksi yang sudah ada, yaitu teori fungsi produksi Walras-Leontief-Harold-Domar (yang kemudian lebih dikenal dengan fungsi produksi Leontief) dan fungsi produksi Cobb-Douglas, di mana fungsi produksi Leontief berasumsi bahwa dalam fungsi produksi terdapat koefisien input yang konstan, sedangkan fungsi produksi Cobb-Douglas berasumsi bahwa dalam fungsi produksi terdapat substitusi elastis yang seimbang antara modal dan tenaga kerja.[3] 

Dalam CES, Sollow dkk menekankan bahwa ada aspek penting lain yang tidak diperhitungkan oleh kedua fungsi produksi yang sudah ada, yaitu tingkat penggunaan teknologi yang berbeda dari masing-masing industri yang berbeda. Dari sini kemudian Sollow dkk mengkaitkannya dengan produktivitas pekerja dalam menghasilkan barang, yang pada akhirnya menghasilkan 3 parameter inti, yaitu parameter substitusi, parameter distribusi dan parameter efisiensi.[4] Dari situlah kemudian ia menyimpulkan bahwa substitusi antara modal dan tenaga kerja bersifat konstan atau terus menerus.
Dalam penulisan matematis, fungsi produksi CES berbentuk seperti ini:


Y = output
C = parameter efisiensi
K = input modal
N = input tenaga kerja
Ï€ = parameter distribusi
σ = elastisitas substitusi modal dan tenaga kerja[5]

Berdasarkan formulasi di atas, Sollow dkk berasumsi bahwa elastisitas substitusi antara modal dan tenaga kerja tidak selalu tetap. Maka dari itu, mereka beranggapan bahwa fungsi produksi CES lebih fleksibel dan lebih realistis dari fungsi-fungsi produksi yang sudah ada.[6]


[1] Eric Miller, “An Assesment of CES and Cobb-Douglas Production Functions”, Working Paper at Congressional Budget Office, June 2008.
[2] Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai awal mula fungsi produksi CES, lihat Robert M. Sollow, “A Contribution to the Theory of Economic Growth”, The Quarterly Journal of Economics, Vol.70, No.1. (February 1956).
[3] K.J. Arrow, H.B. Chenery, B.S. Minhas dan R.M. Sollow, “Capital-Labor Substitution and Economic Efficiency”, The Review of Economics and Statistics, Vol. XLIII, Agustus 1961, No. 3. Hal. 225
[4] Ibid, hal. 226
[5] Rainer Klump, Peter McAdam, dan Alpo Williams, “The Normalized CES Production Function, Theory and Empirics”, Working Paper Series, European Central Bank, No. 1294/ February 2011. Hal. 12
[6] Sollow, et.all. “Capital…”, hal.246.

Senin, Oktober 14, 2013

Resensi: Pembebasan Perempuan Asghar Ali Engineer

Buku ini membahas mengenai konsep pembebasan perempuan yang ditawarkan oleh Asghar Ali Engineer, seorang muslim kelahiran India yang memunculkan ide ‘teologi pembebasan’ dalam studi Islam. Buku ini merupakan jawaban atas kegelisahan Asghar atas yang menurutnya disebut sebagai ‘penindasan’ perempuan.

Asghar menulis buku ini dalam 16 bab. Pada bab I, ia membahas mengenai penetapan hukum dalam Islam, yang menurutnya berubah-ubah sesuai dengan kondisi zaman dan budaya setempat. Berangkat dari situ, ia kemudian menjelaskan mengenai perempuan di bawah kekuasaan Islam di mana ia melihat teks-teks keagamaan yang membahas mengenai perempuan seperti ayat hijab, poligami, kepemimpinan laki-laki atas perempuan, kesaksian perempuan, perceraian dan lain sebagainya adalah teks-teks yang terpengaruh oleh kebudayaan Arab yang ada ketika zaman Rasulullah SAW, sehingga pada saat ini, teks-teks keagamaan tersebut harus direinterpretasi sehingga penafsiran-penafsiran yang muncul tidak lagi bias gender.

Setelah melakukan ‘dekonstruksi’ terhadap teks-teks keagamaan, Asghar memberikan contoh kasus serta tokoh-tokoh yang dianggapnya telah berhasil mengangkat harkat dan martabat perempuan, seperti kasus di Yordania dengan perundang-undangannya dan Mesir dengan gerakan liberalnya yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Untuk tokoh, ia mencontohkan Rabi’ah ‘Adawiyah dengan mistisime par excellence nya, Maulana Umar Ahmad Utsmani dengan perjuangannya menuntut hak-hak perempuan, Maulvi Mumtaz Ali Khan dengan pengabdiannya sebagai advokat untuk hak-hal perempuan dan Sir Syed yang menelurkan konsep tentang hak-hak perempuan. Di akhir buku ini, Asghar menjelaskan mengenai keluarga dalam Islam serta peran wanita di dalam dan luar rumah.

Dari hasil pembacaan tersebut, terlihat bahwa Asghar sangat terpengaruh dengan pemikiran barat yang identik dengan liberalisme dan relativisme. Ia menafsirkan teks-teks keagamaan dengan metode hermeneutika untuk mendapatkan hasil penafsiran yang menguntungkan pendapatnya sendiri. Ia meninggalkan penafsiran ulama’ terdahulu dan mengagungkan pemikiran orientalis barat. Tentu saja pemikirannya mengenai perempuan merupakan implementasi dari teori teologi pembebasan yang digagasnya.

Buku ini sebenarnya hanyalah alat propaganda dari Asghar saja, namun argumen di dalamnya tidak relevan dan banyak terdapat kerancuan. Wallahu A’lam.

Judul Buku       : Pembebasan Perempuan
Judul Asli         : The Qur’an Women and Modern Society
Penulis             : Asghar Ali Engineer
Penerjemah      : Agus Nuryatno
Penerbit           : LKiS Yogyakarta
Cetakan           : II, Agustus 2007
Halaman          : viii + 310 halaman, 14.5 x 21 cm