Masa kecilku dulu

Masa-masa kecilku yang indah bersama keluargaku tercinta.

Teman-teman Seperjuangan di PKU

Terlalu banyak kenangan yang ada di sini.

This is My Family

Keluargaku tercinta. Sumber inspirasi, semangat dan motivasi...

Aku dan Dekanku

Foto bersama dekan dengan baju toga, awesome!

Stavol-Stavol Siman

These all are my dudes.

Minggu, September 22, 2013

‘Rukun Iman Syi’ah Yang 5’

Di tengah keyakinan muslim yang menganut rukun Iman yang enam, ternyata ada suatu golongan yang menganut bahwa rukun Iman ada lima. Golongan tersebut adalah golongan Syi’ah. Golongan sesat ini menyatakan bahwa rukun Iman hanya ada lima, yaitu Tauhid (keesaan Allah), ‘Adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), imamah (kepemimpinan Imam) dan ma’ad (hari kebangkitan). Hal ini jelas berbeda dengan rukun Iman dalam pandangan umat Islam, di mana rukun Iman ada 6, yaitu Iman kepada Allah SWT, Iman kepada malaikat Allah, Iman kepada kitab-kitab Allah, Iman kepada Rasulullah, Iman kepada Hari Kiamat, dan Iman kepada qadha’ dan qadar.

Secara kasat mata saja, terlihat jelas perbedaan antara rukun Iman syiah dengan rukun Iman umat Islam. Syi’ah dan umat Islam terlihat sepakat hanya dalam 3 hal, yaitu ketauhidan, nubuwwah dan hari akhir. Untuk ketiga rukun Iman yang lain, yaitu Iman kepada malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah dan qadha’ dan qadar, syi’ah tidak mengimaninya. Mereka mengganti ketiga hal tersebut dengan ‘adl dan imamah.

Syi’ah beranggapan bahwasanya imamah merupakan rukun iman yang paling membedakan syi’ah (khususnya syi’ah itsna ‘asyariyyah) dengan umat Islam dan golongan yang lain. Seorang ulama’ syi’ah bernama Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghitha’ dalam bukunya “Ahlusy- Syi’ah wa Ushuuluhaa” berkata bahwasanya imamah adalah anugerah tuhan yang telah dipilih sejak zaman Azali. Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Allah telah menentukan Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah SAW. Dengan demikian, lebih lanjut seorang ulama’ besar Syi’ah bernama Syaikh Mufid menerangkan, bahwa Syi’ah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman ra.

Hal ini tentu saja sangat tidak masuk akal. Ali ra. sendiri mengakui dan turut membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. Beliau sendiri mengatakan bahwa pembaiatan mereka sebagai khalifah tidak dapat dibantah, karena sudah menjadi hasil musyawarah para tokoh masyarakat ketika itu. Beliau menambahkan, jika ada pihak yang membangkang dari keputusan tersebut, maka harus diberi penjelasan dan diperingatkan, namun jika pada kenyataannya mereka tetap membangkang, maka harus diperangi. Pernyataan Ali ra. ini menjadi bantahan telak terhadap keyakinan golongan syi’ah.

Kaitannya dengan rukun ‘adl, syi’ah sepakat dengan golongan mu’tazilah, di mana menurut mereka, perbuatan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan takdir Tuhan. Menurut Muhammad Al- Husein, yang menentukan baik dan buruknya perbuatan manusia itu adalah akal manusia itu sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan, karena Tuhan merupakan kumpulan sifat-sifat Haq yang mengharuskan kesempurnaan sifat baik dan keindahannya, sehingga tidak mungkin Tuhan menentukan suatu keburukan. Jika memang terjadi demikian, maka Allah SWT tidak berlaku adil apabila ada manusia yang berbuat maksiat dimasukkan ke dalam neraka, karena hal tersebut juga merupakan kehendakNya sendiri.

Pernyataan tersebut bertentangan dengan apa yang sudah diajarkan oleh Islam. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT berkuasa atas seluruh hambaNya. Untuk itu, ada keharusan untuk mengimani qadha’ dan qadar. Qadha’ berarti keputusan Allah SWT yang sudah ada sejak zaman azali, seperti urusan kelahiran, kematian dan jodoh. Adapun qadar adalah ketentuan Allah SWT yang muncul ketika sesuatu itu akan terjadi, seperti misalnya kelulusan seseorang dalam ujian. Untuk qadar, seseorang masih bisa mengusahakan akan terjadinya hal yang diinginkannya, tetapi ia harus berusaha keras, berdoa dan terakhir bertawakkal kepada Allah SWT. Hal ini membantah keterangan syi’ah bahwa Allah SWT berlaku tidak adil.

Dalam poin Iman kepada kitab-kitab Allah, syi’ah tidak sepakat dengan umat Islam. Menurut Syi’ah, Al-Qur’an yang digunakan oleh umat Islam saat ini tidak otentik dan telah mengalami banyak pengurangan ayat. Al-Kulainy, seorang ahli hadits kaum Syi’ah, meriwayatkan di dalam kitab Al-Kafi dari Abu Abdillah ia mengatakan “sesungguhnya Al-Qur’an yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad berjumlah 17.000 ayat”. Menurut mereka, mushaf yang asli  saat ini dipegang oleh ‘Imam Al-Mahdi’ yang akan keluar pada akhir zaman nanti. Hal ini seperti yang disebutkan oleh salah satu tokoh syi’ah, Abu Manshur Ahmad ibnu Abi Thalib Ath-Thabrasi dalam kitabnya “Al-Ihtijaj ‘Ala Ahli-l-Lujaj”.

Pemahaman mereka ini sangat tidak masuk akal. Ali ra. sendiri tidak pernah mengatakan hal yang demikian. Mereka menggunakan riwayat-riwayat palsu untuk memperkuat argumen mereka. Para sahabat, yang sudah dijamin surganya oleh Rasulullah SAW, sudah mengumpulkan mushaf-mushaf yang ada serta memverifikasikannya kepada para hafizh yang hidup pada zaman itu, sehingga otentisitasnya sudah tidak dipertanyakan lagi. Dalam hal ini, Allah SWT sudah menyatakan keotentikan Al-Qur’an ini dalam banyak ayat, seperti dalam Surat Al-Baqarah 2, Fushshilat 42, Al-Hijr 9, dan masih banyak lagi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ajaran mereka ternyata didasari oleh kesalahan berpikir yang fatal dan tidak valid sama sekali.

Dalam Islam, rukun Iman tidak ditetapkan berdasarkan asumsi-asumsi belaka. Rukun Iman ditetapkan berdasarkan dalil-dalil naqli yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyyah. Allah SWT menjelaskan dalam surat An-Nisa’: 136

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.

Selain itu, ada sebuah hadits riwayat Muslim ra. dari Umar Bin Khattab:

“Jibril berkata, (Wahai Muhammad) jelaskan kepadaku tentang iman. Rasulullah bersabda: “ (Iman itu adalah) beriman kepada Allah, dan malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir, dan Qadar baik maupun buruk. Jibril berkata: benar”.

Selain dari dua sumber di atas, masih ada dalil-dalil lain yang digunakan untuk memperkuat kedudukan rukun Iman dalam Islam, di antaranya surat An-Nisa' 59, Al-A'raff 158 dan lain sebagainya. Dengan demikian, kelas sekali terlihat kesesatan syi'ah dalam urusan rukun Iman, hal yang paling dasar dalam kehidupan seorang muslim. Jika rukun imannya saja sudah salah, dapat dibayangkan seperti apa bobroknya ajaran mereka. Wallahu A'lam. 


Sabtu, September 21, 2013

Ijtihad Umar Sebagai Argumen Liberalisasi Hukum Islam, Tepatkah?

Dalam banyak kesempatan, orang-orang liberal menggunakan ijtihad Khalifah Umar Bin Khattab ra. sebagai argumen mereka dalam melegalkan kontekstualisasi hukum Islam. Mereka melihat bahwa Umar seringkali melihat kondisi sosio historis masyarakat Islam pada saat itu untuk menentukan suatu hukum. Seperti ketika Umar memutuskan untuk tidak memotong tangan pencuri, karena adanya kondisi paceklik di beberapa daerah ketika itu. Menurut kaum liberal, Umar sudah menafikan teks dan beralih ke konteks dari ayat hudud tersebut. Mereka berargumen bahwa Umar adalah seorang yang mengedepankan akalnya ketimbang nash ilahiyyah dalam menentukan hukum suatu perkara. Dari sini, mereka mengusung kaidah ushul fiqh “al-ibratu bil maqashid laa bil alfazh”. Jika ijtihad Umar ini dipahami demikian, maka argumen mereka bisa jadi ada benarnya.

Namun demikian, ternyata orang-orang liberal sudah melakukan kesalahan yang fatal. Dalam memahami ijtihad Umar mereka hanya melihat kasus ini secara parsial dan tidak membahasnya sebagai satu kesatuan yang utuh dan mendalam. Mereka hanya mencari-cari argumen yang dapat dipergunakan untuk memperkuat pendapat mereka bahwa dalam penentuan hukum harus lebih mengedepankan akal dan kondisi sosio historis suatu zaman. Untuk mendapatkan argumen tersebut, mereka telah mengalami apa yang disebut dengan ‘kerancuan metodologis’, di mana mereka tidak melihat kasus ijtihad Umar secara komprehensif. Selain itu, ada indikasi ‘kecacatan epistemologis’ di mana mereka tidak mendudukkan ijtihad sebagai satu istilah yang utuh, melainkan hanya memaknai ijtihad sesuai kepentingan mereka. Di sini, terlihat mereka berniat menjadikan ijtihad Umar sebagai ‘pedang’ untuk ‘membantai’ eksistensi hukum Islam yang sudah ada.

Dalam melihat kasus ini, diperlukan pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif. Ketika digunakan terminologi ‘ijtihad’, maka harus diketahui terlebih dahulu apa itu ijtihad dan bagaimana ijtihad itu. Ijtihad adalah pengerahan usaha dari mujtahid untuk memperoleh tingkat zhann terhadap hukum syara’. Dari pengertian tersebut, terlihat yang berhak untuk berijtihad adalah mujtahid, di mana mujtahid adalah seorang faqih yang memahami Islam secara utuh, mulai dari ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul hadits, pengetahuan bahasa Arab, fiqh dan ushul fiqh dan lain sebagainya. Seorang mujtahid harus benar-benar memahami dalil-dalil fiqh, cara penggunaannya dan memenuhi kriteria-kriteria mujtahid.

Dalam kasus ijtihad Umar, Umar tidak hanya menggunakan pertimbangan akan belaka. Seperti yang sudah diketahui bahwa Umar merupakan salah satu sahabat yang sudah mendapatkan otoritas dari Rasulullah SAW untuk menjelaskan hukum-hukum Islam. Sebagai contoh kasus had sariqoh yang terjadi pada masa kekhalifahan beliau. Dalam memahami kasus pencurian yang terjadi dalam kondisi paceklik tersebut, Umar menganalisa apakah si pencuri memang dalam keadaan darurat atau melakukannya dengan sengaja. Untuk itu, Umar menggunakan kaidah fiqhiyyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda “Idrra’uu al-hudud bi al-syubuhat” (Tinggalkanlah sanksi sebab adanya syubhat). Dalam kondisi ini, Umar juga berpendapat bahwa perkara yang diharamkan bisa dimaafkan karena “al-dharuurah tubiihul mahzhuuraat”.

Di sini, dapat disimpulkan bahwa Umar tidak serta merta memutuskan suatu hukum tanpa mempertimbangkan nash ilahiyah sama sekali. Argumen orang liberal yang menyatakan bahwa Umar hanya mengedepankan akalnya saja telah batal, karena Umar ra. Juga merujuk kepada hadits nabawiyyah dalam penentuan hukumnya. Wallahu A’lam.