Masa kecilku dulu

Masa-masa kecilku yang indah bersama keluargaku tercinta.

Teman-teman Seperjuangan di PKU

Terlalu banyak kenangan yang ada di sini.

This is My Family

Keluargaku tercinta. Sumber inspirasi, semangat dan motivasi...

Aku dan Dekanku

Foto bersama dekan dengan baju toga, awesome!

Stavol-Stavol Siman

These all are my dudes.

Minggu, Januari 06, 2013

Larangan Duduk Terbuka Alias ‘Ngangkang’ Bagi Wanita Saat Berboncengan, Tepatkah?

Beberapa hari lalu, negeri ini dihebohkan dengan munculnya surat edaran dari Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya, sehubungan dengan anjuran untuk tidak duduk terbuka alias ‘ngangkang’ saat berboncengan sepeda motor. Dalam surat edaran tersebut, wanita-wanita di Lhokseumawe dihimbau untuk tidak ‘ngangkang’ saat dibonceng, dengan dalih budaya, adat istiadat, dan yang terpenting, menjaga marwah perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, surat edaran yang dikeluarkan oleh walikota ini hanya bersifat anjuran saja, namun ke depannya, Pemkot akan mengevaluasi berjalannya anjuran ini, dan jika memungkinkan, akan dikeluarkan qanun atau perda tertulis berkenaan dengan hal ini.

Belum genap sehari surat edaran ini dikeluarkan, banyak pihak sudah mempertanyakan kebijakan ini. Anggota DPR-RI dari FDI-P, Eva Kusuma Sundari, berpendapat bahwa pemkot semestinya lebih memperhatikan keselamatan wanita saat berkendara, bukan hanya ‘menyenangkan’ ulama’ saja. Menurut Norma Manalu, Aktivis Bali Syura Inong Aceh, surat edaran itu merupakan salah satu bentuk ‘salah kaprah’ dalam memahami syariat Islam. Lain lagi dengan Musdah Mulia, ia berpendapat bahwa peraturan ini sangat ‘tidak masuk akal’.

Terlepas dari kontroversi yang dihadirkan oleh surat edaran ini, perlu rasanya bagi kita untuk menelaah, tepatkah dikeluarkannya surat edaran ini. Jika ditinjau dari sisi syariat, sejatinya tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk duduk ‘ngangkang’ saat berkendara. Hal ini dibuktikan dengan banyak sahabat wanita pada zaman Rasulullah SAW yang mahir berkuda. Aisyah ra. menaiki unta juga dengan duduk terbuka, tidak menyamping.

Meski demikian, ada kalanya duduk terbuka alias ‘ngangkang’ saat berboncengan ini dapat dianalogikan dengan ‘menyerupai’ laki-laki, seperti hadits riwayat Bukhari ra. yang berbunyi "Rasulullah saw. melaknat para laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan wanita yang menyerupai kaum laki-laki,". Jika berpatokan pada hadits ini, maka larangan duduk ‘ngangkang’ ini dapat dibenarkan, karena posisi duduk demikian dianggap ‘menyerupai’ laki-laki.

Namun di sisi lain, posisi duduk ‘ngangkang’ saat berboncengan pun tidak dapat serta merta dianggap ‘menyerupai’ laki-laki. Adakalanya posisi duduk ‘ngangkang’ ini membuat wanita lebih nyaman berkendara, sehingga dapat menunjang keselamatan berkendara. Selain itu, jika wanita tersebut membawa banyak barang atau sambil menggendong anaknya, maka akan lebih aman duduk ‘ngangkang’.

Melihat dari fakta-fakta tersebut, sejatinya surat edaran larangan ‘ngangkang’ saat berboncengan tersebut tidak menjadi masalah. Namun, ada baiknya sifatnya sebagai ‘anjuran’ tetap sebagai anjuran, karena banyak wanita yang duduk ngangkang untuk alasan-alasan yang jelas, seperti membawa barang, menggendong anak hingga adanya rasa nyaman dan aman dalam berkendara. Surat edaran ini juga menjadi ‘pesan’, tidak hanya bagi wanita di Lhokseumawe, tapi bagi seluruh wanita di Indonesia, apakah mereka masih memiliki perhatian kepada hal-hal kecil yang mungkin kerap luput dari pandangan mereka. Wallahu A’lam.

Sabtu, Januari 05, 2013

Cadangan Wajib Minimum dalam Sistem Perbankan Islam, Sebuah Survei Kritis



A. Pendahuluan

Di era globalisasi ini, virus westernisasi dan liberalisme telah menjadi virus yang tak pelak turut menjadi penyebab kemunduran umat Islam dewasa ini. Mulai dari aspek utama dalam kehidupan, seperti politik, ekonomi dan social budaya[1], hingga aspek-aspek kecil dalam kehidupan, seperti makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya.


Untuk mengatasi hal tersebut, para cendekiawan muslim berupaya untuk menemukan solusi, yaitu dengan adanya upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan adanya usaha tersebut, diharapkan kejayaan Islam dapat dikembalikan lagi seperti pada zaman khilafah Islamiyyah masih berjaya di muka bumi.


Upaya Islamisasi ilmu ini mencakup seluruh bidang kehidupan, termasuk aspek ekonomi, mengingat ekonomi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta memuaskan hasrat keinginannya.[2] Salah satu aspek ekonomi yang sangat penting dalam kehidupan manusia adalah aspek perbankan, sehingga Islamisasi perbankan menjadi salah satu perhatian dari cendekiawan muslim.


Namun, beberapa orang menyangsikan usaha Islamisasi perbankan, seperti Zaim Saidi[3] dan Ahamed Kameel Mydin Meera.[4] Mereka berdalih, sistem cadangan wajib sebagian yang diterapkan dalam sistem perbankan modern karena sangat rentan terhadap riba. Bahkan, Meera menyebut sistem ini sebagai anti-thetical (bertentangan dengan etika) ekonomi Islam.[5]


Berkaitan dengan hal tersebut, banyak cendekiawan muslim telah membahas solusi atas permasalahan cadangan wajib di bank Islam. Banyak seminar-seminar telah diadakan guna menemukan konsep apa yang paling cocok untuk sistem perbankan Islam berkenaan dengan sistem cadangan wajib minimum. Para ekonom muslim seperti Umer Chapra, Monzer Kahf, Nejatullah Siddiqi, Mabid Al- Jarhi dan lain-lain telah banyak mendiskusikan masalah ini secara ilmiah.


Para ekonom muslim sendiri memiliki beberapa pandangan yang berbeda berkenaan dengan cadangan wajib minimum di bank Islam. Beberapa dari mereka, seperti Umer Chapra, Monzer Kahf, Nejatullah Siddiqi, dan Mohammad Ariff berpendapat bahwa sistem cadangan sebagian merupakan sistem yang tepat bagi bank Islam. Di sisi lain, Mabid Al-Jarhi, Mahmoud Abu Saud, Abbas Mirakhor dan Mohsis S Khan melihat bahwa sistem cadangan wajib 100% merupakan sistem cadangan wajib yang paling tepat untuk bank Islam.


B. Cadangan Wajib Sebagian Versus Cadangan Wajib 100%


Diskursus mengenai cadangan wajib minimum dalam sistem perbankan sejatinya sudah muncul jauh sebelum munculnya bank Islam[6], tepatnya pada sistem perbankan barat pada abad 19.[7] Ketika sistem perbankan Islam muncul di sepertiga akhir abad ke 20, diskusi mengenai sistem cadangan wajib minimum yang paling cocok untuk sistem perbankan Islam juga ramai dibincangkan. Seminar-seminar diadakan dalam rangka menemukan sistem cadangan wajib mana yang paling cocok untuk bank Islam, seperti seminar internasional yang diadakan di Mekkah pada tahun 1978.[8] Selain itu, banyak buku, artikel serta makalah-makalah yang turut membahas hal tersebut.[9]


Sejatinya, inti dari diskusi tersebut adalah perbedaan pendapat yang ada di kalangan ekonom muslim mengenai cadangan wajib minimum, antara menerapkan sistem cadangan wajib sebagian atau sistem cadangan wajib 100%.

a. Cadangan Wajib Sebagian: Sebuah Skema Ekonomi Modern

Beberapa ekonom muslim berpendapat bahwa sistem cadangan sebagian merupakan sistem yang paling cocok dengan sistem perbankan Islam. Para ekonom seperti Umer Chapra, Monzer Kahf, Nejatullah Siddiqi, Afzalurrahman dan Mohamad Ariff telah menjelaskannya panjang lebar, mulai dari apa itu cadangan wajib sebagian, mengapa harus cadangan wajib sebagian dan bagaimana implikasinya terhadap sistem perbankan Islam.

1. Rasio Cadangan Wajib Sebagian: Lebih Besar Lebih Baik

Menurut Chapra, bank sentral harus mewajibkan bank komersial untuk mencadangkan sebagian dananya atau sekitar 15 – 20% dari total simpanan nasabah.[10] Ia berpendapat bahwa dengan cadangan tersebut, bank komersial dapat menunaikan kewajibannya untuk menyediakan dana likuid bagi nasabah yang ingin mengambil uangnya di bank.[11] Selain itu, cadangan tersebut juga dapat digunakan untuk menyediakan fasilitas penarikan dana nasabah deposito mudarabah sebelum periode deposito tersebut berakhir.sedangkan menurut Afzalurrahman, cadangan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi permintaan nasabah atas penarikan harian dari dana simpanannya.[12]

Untuk besaran rasionya, Siddiqi melihat bahwa semakin besar rasio yang digunakan, maka tingkat stabilitas perekonomian akan semakin membaik, dan sebaliknya, semakin kecil rasionya, maka potensi ketidakstabilan perekonomian akan sangat besar.[13]

Untuk menentukan besaran rasionya, Siddiqi menawarkan sebuah konsep stabilitas relative dalam sistem keuangan Islam, yang meliputi lima bahasan pokok, yang akan dijelaskan kemudian.

2. Penciptaan kredit di sistem cadangan wajib sebagian: Mengapa harus ada

Para ekonom muslim sepakat bahwa dengan diterapkannya sistem cadangan wajib sebagian, maka penciptaan kredit pun pasti terjadi.[14] Menurut Chapra, tidak ada masalah dengan adanya penciptaan kredit di sistem tersebut, selama bank sentral masih memegang kontrol atas hal tersebut. Menurutnya, penciptaan kredit dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi pembiayaan, khususnya pembiayaan produktif. [15]

Selain itu, Kahf menambahkan bahwa proses penciptaan kredit di sistem ini dapat dimanfaatkan oleh bank sentral sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar. Dari situ, bank sentral dapat meningkatkan tingkat produksi, mengontrol jumlah pengangguran dan merangsang pertumbuhan ekonomi.[16] Siddiqi menambahkan, instrumen ini sangat penting guna mengontrol laju inflasi yang rentan terjadi dalam sistem ekonomi.[17]

Kaitannya dengan hal tersebut, Siddiqi berpendapat bahwa kredit yang diciptakan dari sistem tersebut dapat digunakan sebagai alat transaksi, atau dengan kata lain, dapat digunakan sebagai uang. Ia berargumen bahwa kredit di bank Islam berlandaskan atas asset riil yang memiliki nilai[18], sehingga tingkat fluktuasinya tidak seperti kredit yang ada di bank konvensional yang menciptakan kredit dari ketiadaan. Meski demikian, Siddiqi mengakui bahwa penggunaan kredit sebagai alat transaksi cukup beresiko, sehingga ia menyebut kredit sebagai uang substitusi inferior dalam ekonomi Islam.[19]

Ariff memberikan argument tambahan atas penciptaan kredit di bank Islam. Ia berpendapat bahwa dana nasabah yang disimpan di bank harus digunakan untuk investasi atau pembiayaan, karena dana yang mengendap di bank mengindikasikan terjadinya penimbunan[20], sedangkan penimbunan sendiri sangat dilarang dalam ekonomi Islam. Meskipun ada perbedaan antara simpanan dan deposito, namun Ariff berpendapat dalam ekonomi Islam, keduanya tidak bersifat independen, melainkan interdependen.[21]

Meski demikian, instabilitas ekonomi masih merupakan perhatian utama dari para ekonom muslim berkenaan dengan sistem ini. Dengan adanya pelipatgandaan uang dari sistem ini, tentu saja instabilitas menjadi problem yang serius. Chapra dan Siddiqi berpendapat, untuk mengurangi efek tersebut, seluruh kebijakan dari bank sentral harus berorientasikan pada nilai-nilai kesejahteraan masyarakat yang idela, sehingga negara sejahtera dapat terwujud.[22]

3. Stabilitas moneter dalam sistem cadangan wajib sebagian

Menurut Chapra, bank sentral Islam harus memainkan peran yang lebih aktif dan positif dalam menaungi bank-bank komersial di bawahnya. Dengan berorientasikan kepada kesejahteraan masyarakat, bank sentral dapat memainkan perannya melalui pengawasan yang sesuai, kontrol kredit yang selektif, insentif, penalti dan intervensi.[23] Dengan adanya sistem cadangan wajib sebagian, bank sentral dapat mengontrol jumlah uang beredar dengan menentukan besaran rasio cadangan wajib minimum.[24] Dengan demikian, pengaruh buruk dari cadangan wajib sebagian dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga dapat menciptakan stabilitas moneter.

Seperti yang telah diutarakan di atas, setiap kebijakan yang dibuat oleh bank sentral harus berorientasikan kesejahteraan masyarakat yang ideal, termasuk dalam hal penentuan rasio cadangan wajib minimum. Untuk itu, agar tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai, setidaknya ada dua langkah yang harus ditempuh. Pertama, ekspansi kredit oleh bank komersial harus ditekankan kepada golongan-golongan yang benar-benar membutuhkan dan bukan hanya pada investor-investor besar saja.[25] Dengan demikian, jumlah uang beredar yang ada di masyarakat akan lebih merata. Untuk tujuan tersebut, maka rasio cadangan wajib minimum harus memperhatikan kebutuhan dari orang banyak. Kedua, ekspansi kredit oleh bank komersial harus ditekankan kepada pembiayaan produktif seperti mudarabah dan musyarakah.[26]

Untuk mencapai stabilitas moneter melalui cadangan wajib minimum, Siddiqi memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Menurutnya, stablitas dapat dicapai dengan setidaknya lima poin berikut:


- Keseimbangan aktiva dan pasiva dalam neraca keuangan

- Sinkronisasi aktiva dan pasiva dalam neraca keuangan

- Kemampuan mengantisipasi krisis ekonomi melalui perubahan biaya modal.

- Penciptaan uang yang berhubungan langsung dengan penciptaan kesejahteraan.

- Pengelolaan investasi asing dengan rasio bagi hasil.[27]

Jika kelima pojn tersebut dapat dipenuhi, maka kondisi ekonomi yang stabil pun dapat tercapai, sehingga tujuan untuk menciptakan negara sejahtera dapat terwujud.

Dalam kaitannya dengan cadangan wajib sebagian, bank sentral juga memiliki peran yang sangat penting bagi bank komersial, yaitu sebagai the lender of last resort. Dengan adanya fungsi ini, bank komersial yang sudah kehabisan dana likuid untuk memenuhi kewajibannya terhadap nasabah. Ditambah dengan kenyataan bahwa bank Islam mengedepankan prinsip profit and loss sharing yang tentu saja memiliki resiko yang lebih besar ketimbang bank konvensional dengan sistem bunga. Untuk itu, bank sentral diperbolehkan untuk mengatur rasio cadangan wajib minimum bagi bank-bank komersial untuk kepentingan dari bank komersial itu sendiri.[28]

Kahf memiliki metode tersendiri untuk mengatur rasio cadangan wajib. Menurutnya, rasio cadangan wajib dapat dipengaruhi oleh dana zakat dari masyarakat. Menurutnya, dana zakat dapat dikelola oleh bank sentral, sehingga dana zakat tersebut dapat digunakan untuk memberikan pembiayaan terhadap orang-orang yang tidak mampu,[29] sehingga dapat menekan kredit yang diciptakan oleh bank komersial.[30]

Untuk menanggulangi masalah pelipatgandaan uang dari penciptaan kredit, bank Islam, yang menggunakan sistem bebas bunga, tentu saja dapat terhindar dari efek buruk dari pelipatgandaan tersebut, meskipun masih ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki, seperti instabilitas dan spekulasi. Untuk mengurangi efek buruk tersebut, Siddiqi berpendapat bahwa rasio cadangan wajib yang ditetapkan oleh bank sentral dapat diperbesar, sehingga tingkat stabilitasnya pun semakin baik.[31]

b. Cadangan Wajib 100%

Beberapa ekonom muslim berpendapat bahwa bank Islam harus mencadangkan seluruh dana nasabah tanpa menguranginya sedikitpun. Ekonom-ekonom muslim tersebut adalah Mabid Al-Jarhi, Mohsin S Khan dan Abbas Mirakhor.

1. Rasio 100%: Pemisahan Simpanan Giro dan Simpanan Investasi

Dalam sistem cadangan wajib 100%, para ekonom muslim berpendapat bahwa harus ada pemisahan antara pengelolaan simpanan giro dan simpanan investasi. Jarhi mengemukakan bahwa untuk simpanan giro harus dicadangkan seluruhnya 100%, sedangkan untuk simpanan investasi, tidak ada jumlah minimum yang harus dicadangkan.[32] Khan menambahkan, bahwa simpanan giro wajib dicadangkan seluruhnya, baik dalam bentuk mata uang domestic, mata uang asing ataupun surat berharga pemerintah.[33] Sebaliknya, untuk simpanan investasi tidak diharuskan untuk mencadangkan dananya karena nasabah di sini adalah pemberi modal untuk bank, jika bank memperoleh keuntungan, maka nasabah juga akan mendapatkan keuntungan, dan sebaliknya, jika bank menanggung kerugian, maka nasabah pemegang simpanan investasi harus turut menanggung kerugian tersebut, sesuai dengan prinsip bagi hasil.[34] Meski demikian, Jarhi berpendapat bahwa bank masih harus menanggu kerugian jika kerugian datang dari kelengahan dan keteldoran bank dalam mengelola dana nasabah.[35]

Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa bank komersial Islam pada akhirnya akan beroperasi seperti narrow bank[36], di mana bank hanya berperan sebagai tempat penyimpanan uang dan alat investasi. Namun di sini ada perbedaan mendasar antara bank Islam dengan konsep narrow banking, yaitu penghapusan riba di bank Islam dan penerapan sistem bagi hasil untuk segala macam operasionalnya.[37]

2. Penghapusan cadangan wajib sebagian: rasionalisasi penghapusan penciptaan kredit

Dalam sistem cadangan wajib 100%, penciptaan kredit yang terjadi dalam sistem cadangan wajib sebagian otomatis tidak terjadi. Jarhi melihat bahwa sistem cadangan wajib sebagian akan berakibat pada terjadinya “instabilitas inheren”. [38] Kemudian ia menambahkan, bahwa simpanan giro nasabah merupakan hutang yang harus dibayarkan ketika hutang tersebut diminta oleh nasabah.[39] Khan mendefinisikannya sebagai amanah, dan untuk itu dana nasabah harus dicadangkan seluruhnya yang pada akhirnya berimplikasi pada ketiadaan alat transaksi berbentuk hutang.[40]

Selain itu, Jarhi memiliki alas an lain mengapa cadangan wajib sebagian patutu dihilangkan. Menurutnya, penciptaan kredit yang terjadi di sistem cadangan wajib sebagian sangat rentan terhadap riba[41], di mana perputaran uang sangatlah cepat dan memiliki angka yang besar. Dengan adanya penciptaan uang seperti ini, akan berakibat pada tidak meratanya jumlah uang beredar di masyarakat dan hanya menguntungkan sebagian pihak saja, khususnya para pemegang saham, sedangkan para nasabah mengalami kerugian dari sistem ini.[42]

Masih menurut Jarhi, penciptaan uang dalam bentuk kredit atau hutang telah menghabiskan lebih banyak biaya daripada hanya sekedar mencetak uang baru. Hal ini dikarenakan dalam sistem cadangan wajib sebagian, bank sentral harus mengendalikan tingkat inflasi, sedangkan di saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi harus tetap tercapai.[43]

Dengan menggunakan cadangan wajib 100%, stabilitas ekonomi akan lebih mudah tercapai. Menurut Khan, hal ini karena adanya pemisahan antara asset moneter dengan jumlah uang beredar, sehingga tidak tercipta pelipatgandaan uang yang pada akhirnya membuat sistem perbankan menjadi sangat likuid.

Selain itu, dalam sistem cadangan wajib 100%, seigniorage akan lebih bermanfaat dari pada yang ada di sistem cadangan wajib sebagian. Hal ini dikarenakan dalam sistem cadangan wajib 100%, seigniorage yang didapatkan oleh bank komersial harus dibayarkan terlebih dahulu kepada bank sentral dan kemudian bank sentral mendistribusikan seigniorage tersebut kepada masyarakat luas, sehingga distribusi dana likuid dari seigniorage lebih merata dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[44]

3. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem cadangan wajib 100%

Dalam sistem cadangan wajib 100%, para ekonom muslim menghilangkan fungsi rasio cadangan wajib minimum sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar. Meski demikian, bank sentral tetap dapat mengatur jumlah uang beredar dengan instrumen yang lain. Menurut Khan, bank sentral dapat menggunakan instrumen open market operation untuk mengatur jumlah uang beredar.[45] Di sini, meskipun bank sentral tidak dapat menggunakan rasio cadangan wajib minimum sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter, selama bank sentral masih memiliki framework untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengarahkan kebijakan moneter menuju ke arah yang lebih baik[46], maka bank sentral tetap dapat beroperasi dalam sistem ekonomi di suatu negara.

Masih menurut Khan, dalam sistem cadangan wajib 100%, bank sentral tetap berperan sebagai the lender of last resort bagi bank komersial yang ada di negara tersebut.[47] Bank sentral juga dapat turut menginvestasikan dananya di sektor riil dan perbankan guna meraih keuntungan dari sistem bagi hasil.[48]

Menurut Abu Saud, dana mengendap yang dihasilkan oleh simpanan giro yang dicadangkan oleh bank dapat dikelola dengan adanya zakat. Dengan zakat, dana yang mengendap tersebut dapat digunakan untuk membiayai nasabah yang ingin mengembangkan usaha. Selain itu, uang tersebut dapat digunakan oleh pemerintah guna kepentingan publik.[49]

Untuk mendukung implementasi sistem cadangan wajib 100% dalam sistem perbankan Islam, Jarhi menyarankan pendirian bank universal sebagai salah satu komponen utama dalam sistem perbankan Islam.[50]

Dengan adanya bank universal, maka seluruh informasi yang berkaitan dengan nasabah di berbagai lembaga keuangan akan lebih mudah didapatkan, sehingga target market dari bank menjadi lebih jelas dan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya cacat moral dalam diri nasabah.[51] Selain itu, dengan bank universal, ekspansi kredit dapat tetap terlaksana sekalipun tidak menggunakan sistem cadangan wajib sebagian, karena lembaga-lembaga keuangan non-bank dapat turut memberikan sumbangsih untuk ekspansi kredit tersebut.[52]

C. Menuju Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Ekonomi

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwasanya adanya cadangan wajib minimum dalam sistem perbankan merupakan suatu keniscayaan. Selain untuk memfasilitasi bank untuk memenuhi kewajibannya terhadap nasabah, cadangan wajib ini dapat digunakan juga sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter guna mengatur jumlah uang beredar di suatu negara melalui penciptaan kredit yang dapat digunakan sebagai alat transaksi.

Penciptaan kredit di bank komersial sangatlah penting untuk meredistribusikan dana dari orang-orang yang kelebihan dana kepada orang-orang yang kekurangan dana, sehingga akan tercipta pemerataan kesejahteraan di kalangan masyarakat luas. Kredit yang diciptakan di sini lebih difokuskan pada pembiayaan-pembiayaan produktif, seperti mudarabah dan musyarakah.

Dengan demikian, penggunaan cadangan wajib sebagian merupakan sistem yang paling tepat bagi sistem ekonomi Islam, karena keuntungan dan manfaat darinya lebih besar daripada sistem cadangan wajib 100%.

Meski demikian, ekspansi kredit yang berlebihan dapat menimbulkan masalah bagi perekonomian, yaitu masalah instabilitas inheren. Untuk mengurangi efek buruk darinya, penentuan rasio cadangan wajib minimum harus benar-benar sesuai dengan kondisi ekonomi. Semakin besar rasionya, maka akan semakin stabil.

Zakat juga memegang peranan penting dalam sistem ini. Dengan adanya dana zakat, maka ekspansi kredit yang berlebihan dapat dihindari, karena dana zakat dapat diberikan kepada mustahiq sehingga mengurangi jumlah kredit yang harus dikeluarkan oleh bank komersial.

Dalam sistem cadangan wajib sebagian pula, peran bank sentral sangat penting. Bank sentral harus lebih aktif dalam mengawasi segala gerak-gerik bank komersial, sehingga tidak terjadi kecurangan ataupun kelalaian dari bank komersial tersebut. Perannya sebagai the lender of last resort juga harus diaktifkan dan digalakkan.

Untuk menunjang sistem cadangan wajib sebagain, dapat digunakan open market operation untuk mengatur jumlah uang beredar. Selain itu, pendirian bank universal juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu komponen utama dalam sistem perbankan Islam.

D. Kesimpulan

Dalam memandang cadangan wajib minimum, para ekonom muslim setidaknya terbagi kepada dua kelompok. Kelompok yang pertama, yang terdiri dari Umer Chapra, Nejatullah Siddiqi, Monzer Kahf, Mohamad Ariff dan Afzalurrahman berpendapat bahwa sistem cadangan wajib minimum merupakan sistem yang paling tepat untuk diterapkan di sistem perbankan Islam. Cadangan wajib sebagian ini adalah kewajiban bank komersial untuk mencadangkan sebagian dananya sesuai dengan presentase yang ditentukan oleh bank sentral. Sedangkan Mabid Al-Jarhi, Mahmoud Abu Saud, Mohsin S Khan dan Abbas Mirakhor berpendapat bahwa sistem cadangan wajib 100% merupakan sistem cadangan wajib yang paling tepat diterapakan dalam perbankan Islam. Mereka memisahkan antara simpanan giro dan investasi, kemudian mewajibkan untuk mencadangakn seluruh simpanan giro nasabah hingga 100%.

Golongan pertama beralasan bahwa istem cadangan wajib sebagian dapat meredistribusikan uang kepada orang yang membutuhkan melalui ekspansi kredit dalam bentuk pembiayaan produktif, seperti mudharabah dan musyarakah. Untuk mengontrol ekspansi kredit, maka seluruh kegiatan ekspansi harus berorientasikan nilai-nilai sosial untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa simpanan giro adalah amanah dari nasabah, sehingga harus dijaga dan dipelihara. Selain itu, ekspansi kredit dari sistem cadangan wajib sebagian dapat memperburuk perekonomian dan menimbulkan instabilitas inheren.

Kelompok pertama memandang bahwa dalam sistem cadangan wajib sebagian peran bank sentral harus lebih aktif, selain perannya sebagai the lender of last resort. Kemudian peran zakat harus lebih digalakkan guna menunjang ekspansi kredit yang terjadi di bank Islam. Adapun dalam sistem cadangan wajib 100%, peran open market operation juga perlu digalakkan, mengingat tidak adanya instrumen pengatur jumlah uang beredar. Selain itu, pendirian bank universal juga menjadi isu yang patut diperhatikan dalam sistem ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Saud, Mahmoud, Money, Interest and Qirad, in IIUM Journal of Economics and Management 10, no.1. 2002.


Afzalurrahman. Banking and Insurance. Vol.4, 1st edition, London: The Muslim Schools Trust, 1979.


Case, Karl E and Ray C Fair. Principles of Economics. 6th edition. New Jersey: Prentice Hall, 2002.


Chapra, Umer. Islam and the Economic Challenge. 1st edition. USA: The Islamic Foundation: 1992.


____________. “Money and Banking in Islamic Economic”. in Ariff, Mohammad (Ed). Monetary and Fiscal Economisc of Islam (p. 145 – 176). 1st edition. Jeddah, International Centre for Islamic Economics King Abdulaziz University, 1982.


____________. Towards a Just Monetary System. United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995.


Dunil, Z. Kamus Istilah Perbankan Indonesia. 1st edition. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.


Federal Reserve Bank of Chicago. Modern Money Mechanics, A Workbook on Bank Reserves and Deposit Expansion. Chicago: Public Information Center Federal Reserve Bank of Chicago, 2012.


Feiman, Joshua N, “Reserve Requirements; History, Current Practice and Potential Reform”, in Federal Reserve Bulletin, June 1993


Gray, Simon. “Central Bank Balances and Reserve Requirement”, in IMF Working Paper, United States: IMF, 2011.


Gunadi, Iman and Harun, Cicilia. Rivitalizing Reserve Requirement in Banking Model: an Industrial Organization Approach, in Occasional Paper No. 51 The South East Asian Central Banks SEACEN Research and Training Centre, January 2011.


Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset. Yogyakarta: Yayasan Penelitian Fakultas Psikologi UGM, 1987.


Hasan, Zubair and Habibah Lehar. Macroeconomics. 1st edition. New York: Oxford University Press, 2009.


Hemedes, Carmen V and Dennis D Lapid. “A Review of Issues Concerning Reserve Requirements”. in Bangko Sentral Review, July 2005.


Hussey, Jill and Roger Hussey. Business Research. New York: Palgrave, 1997.


Al-Jarhi, Mabid Ali, “A Monetary and Financial Structure for an Interest-Free Economy: Institutions Mechanism and Policy”, in Ziauddin Ahmad eds. Money and Banking in Islam. Jeddah: Institute of Policy Studies, 1983


________________, and Iqbal, Munawar. Islamic Banking, Answers to Some Frequently Asked Questions. Occasional Paper No.4.


________________, “Remedy for Banking Crises: What Chicago and Islam Have In Common: A Comment”, in Islamic Economic Studies, Vol. 11, No. 2, March 2004.


________________, The Case For Universal Banking as a Component of Islamic Banking, on Islamic Economic Studies, Vol. 12, No. 2 & Vol. 13, No. 1, February & August 2005.


Kahf, Monzer. “Fiscal and Monetary Policies in Islamic Economy”. in Ariff, Mohammad (Ed). Monetary and Fiscal Economisc of Islam (p. 125 – 137). 1st edition. Jeddah, International Centre for Islamic Economics King Abdulaziz University, 1982.


Kardiharjo, Sartono. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1990


Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. 10th edition. Jakarta: Rajawali Press, 2010.


Khan, Mohsin S and Abbas Mirakhor. “Monetary Management in an Islamic Economy”, in J. KAU: Islamic Econ., Vol. 6, 1414/1994.


________________________________, “The Financial System and Monetary Policy in an Islamic Economy”, in JKAU: Islamic Econ., Vol. 1, 1409/1989.


Martono. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. 2nd edition. Yogyakarta: Ekonisia, 2003.


Muslehuddin, M. Banking and Islamic Law. New Delhi: Idara Isha’at E-Diniyat P Ltd, 2007.


Meera, Ahamed Kameel Mydin. Real Money. 1st edition. Malaysia: IIUM Press, 2009.


Pandia, Frianto, dkk. Lembaga Keuangan. 1st edition. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.


Reynolds, Lloyd G. Economics. 3rd edition. Illnois USA: Richard D Irwin Inc, 1996.


Saidi, Zaim. Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Delokomotif, 2010.


Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi, 2001.


Samuelson, Paul A and William D Nordhaus. Economics. International Edition. USA: McGraw-Hill, 2002.


Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. 3rd edition. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 2001.


Siddiqi, Mohammad Nejatullah. “Islamic Approach to Money, Banking and Monetary”, in Ariff, Mohammad (Ed). Monetary and Fiscal Economisc of Islam (p. 25 – 38). 1st edition. Jeddah, International Centre for Islamic Economics King Abdulaziz University, 1982.


__________________________. Riba, Bank Interest and The Rationale of Its Prohibition, 1st edition Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2004.


Sukirno, Sadono. Makroekonomi. 19th edition. Jakarta: Rajawali Press, 2010.


Suwardono. Uang dan Bank. 4th Edition. Yogyakarta: BPFE, 1999.


Tampubolon, Pamela Romauli. Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan dengan Penyaluran Kredit Bank. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.


Wasis. Perbankan Pendekatan Manajerial. 4th edition. Semarang: Satya Wacana, 1993.


Zangeneh, Hamid and Ahmad Salam. “Central Banking in Interest-Free Banking System”, in JKAU: Islamic Econ., Vol. 5, 1413/1993


Zarkasyi, Hamid Fahmy. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis. 1st edition. Ponorogo: CIOS Publishing, 2008.






Internet References


Email from Monzer Kahf monzer@kahf.com at Monday, July 2, 2012 at 4:46 pm


Email from Umer Chapra MChapra@isdb.org at Tuesday, June 26, 2012 at 7:57 pm


http://monzer.kahf.com/about.html


http://monzer.kahf.com/publications.html


http://us.macmillan.com/author/abbasmirakhor


http://www.imf.org/external/np/bio/eng/mk.htm


http://www.inceif.org/index.php/faculty-members/125


http://www.irtipms.org/Mabid%20Ali%20Al%20Jarhi_E.asp


http://www.irtipms.org/Mohammad%20Nejatullah%20Siddiqi_E.asp


http://www.irtipms.org/Monzer%20Kahf_E.asp


http://www.mier.org.my/highlight/


http://www.muchapra.com/about.html


http://www.muchapra.com/personal.html


http://www.siddiqi.com/mns/mns_cv3.html



[1] Liberalisasi ekonomi dimulai dengan munculnya istilah laissez faire dari Adam Smith melalui bukunya The Wealth of Nations. Dari sini, kapitalisme mulai berkembang pesat dan menjadi salah satu sistem ekonomi. Sedangkan liberalisasi politik dimulai dengan munculnya Montesquie dengan trias politicanya. lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis, 1st edition (Ponorogo: CIOS Publishing 2008), p.26-27.


[2] Zubair Hasan and Habibah Lehar. Macroeconomics. 1st edition. (New York: Oxford University Press, 2009), p. 2


[3] Zaim Saidi adalah pendiri dan direktur dari Wakala Induk Nusantara, organisasi yang didirikan untuk memproduksi dan mendistribusikan koin dinar dan dirham di Indonesia. Ia sangat aktif dalam menyebarkan dinar dan dirham di Indonesia. Ia juga menulis beberapa buku, seperti Tidak Islamnya Bank Islam and Lawan Dolar dengan Dirham.


[4] Ahamed Kameel Mydin Meera adalah seorang ahli dinar emas asal Malaysia. Saat ini ia menjabat sebagai the Head of Finance Department, International Islamic University of Malaysia. Ia telah menulis beberapa buku, seperti The Islamic Gold Dinar and The Theft of Nations.


[5] Ahamed Kameel Mydin Meera. Real Money. 1st edition. (Malaysia: IIUM Press, 2009), p. 85


[6] Muhammad Uzair, “Central Banking System in an Interest-Free System”, in Mohamed Ariff (Ed), op.cit., p.229


[7] Milton Friedman in Zangeneh and Salam, op.cit., p.29


[8] Seminar ini mendiskusikan berbagai macam wacana mengenai sistem moneter dan fiskal dalalam Islam, seperti kebijakan fiscal dan moneter, instrumen yang digunakan, dsb.


[9] Contoh dari buku-buku tersebut adalah Towards a Just Monetary System oleh Umer Chapra (1995), Riba, Bank Interest, and Its Rationale to Its Prohibition oleh Nejatullah Siddiqi (2004), etc.


[10] M Umer Chapra. Towards a Just Monetary System. (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995), p. 198


[11] Ibid., p. 198


[12] Afzalurrahman. Banking and Insurance. Vol.4, 1st edition, (London: The Muslim Schools Trust, 1979), p. 370


[13] Mohammad Nejatullah Siddiqi, Riba, Bank Interest and The Rationale of Its Prohibition, 1st edition (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2004), p. 97


[14] Chapra, op.cit., p. 193, lihat juga Siddiqi, ibid., p. 97 dan email dari Monzer Kahf (monzer@kahf.com) on Monday, July 2, 2012 at 4:46 pm


[15] Chapra, op.cit., p. 93


[16] Kahf. “Fiscal and Monetary Policies in Islam”. loc.cit., p. 136


[17] Siddiqi, op.cit., p. 129


[18] Siddiqi, op.cit., p. 99


[19] Ibid., p. 99


[20] Mohamed Ariff, “Monetary Policy in an Interest-Free Islamic Economy, Nature and Scope”, di Mohamed Ariff (Ed), op.cit., p. 295


[21] Ibid., p. 295


[22] Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, 1st edition, (USA: The Islamic Foundation: 1992), p. 54, lihat juga Muhammad Nejatullah Siddiqi, “Islamic Approach to Money, Banking and Monetary Policy, A Review”, dalam Mohamed Ariff (Ed), op.cit., p. 29


[23] Umer Chapra, “Monetary and Fiscal Economics of Islam”, dalam Mohamed Ariff (Ed), op.cit., p. 172


[24] Email dari Umer Chapra (MChapra@isdb.org), pada hari Selasa, 26 Juni 2012 at 7:57 pm


[25] Chapra, Towards a Just Monetary System, op.cit, p. 93


[26] Ibid., p. 93


[27] Siddiqi, Riba, Bank Interest, op.cit., p. 100


[28] Chapra, op.cit., p. 199


[29] Monzer Kahf, “Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy”, dalam Mohamed Ariff (ed). op.cit., p. 136


[30] Ibid, p. 137


[31] Chapra, op.cit., p. 194


[32] Mabid Ali Al-Jarhi, “Remedy for Banking Crises: What Chicago and Islam Have In Common: A Comment”, dalam Islamic Economic Studies, (Vol. 11, No. 2, March 2004), p. 24


[33] Mohsin S Khan dan Abbas Mirakhor, “The Financial System and Monetary Policy in an Islamic Economy”, in JKAU: Islamic Econ., (Vol. 1, 1409/1989), p. 42


[34] Ibid., p. 42


[35] Jarhi, op.cit., p. 38


[36] Ibid, p. 24


[37] Jarhi, Ibid, p. 39


[38] Mabid Ali Al-Jarhi, “A Monetary and Financial Structure for an Interest-Free Economy: Institutions Mechanism and Policy”, dalam Ziauddin Ahmad (eds). Money and Banking in Islam. (Jeddah: Institute of Policy Studies, 1983), p. 75


[39] Jarhi, Remedy for Banking Crises, op.cit., p. 37


[40] Khan dan Mirakhor, Monetary Management. op.cit., p. 8


[41] Ibid., p. 8


[42] Ibid., p. 8


[43] Ibid., p. 75


[44] Jarhi, Remedy for Banking Crises, op.cit., p. 38


[45] Khan dan Mirakhor, Monetary Management. op.cit, p. 17-18


[46] Khan dan Mirakhor, The Financial System. op.cit, p. 46


[47] Ibid., p. 17-18


[48] Khan and Mirakhor, The Financial System. loc.cit., p.46


[49] Mahmoud Abu Saud, Money, Interest and Qirad, dalam IIUM Journal of Economics and Management 10, (no.1. 2002), p. 25-28


[50] Mabid Ali Al-Jarhi, The Case for Universal Banking as a Component of Islamic Banking, on Islamic Economic Studies, (Vol. 12, No. 2 & Vol. 13, No. 1, February & August 2005), p. 1


[51] Mabid Ali Al-Jarhi and Munawar Iqbal, Islamic Banking, Answers to Some Frequently Asked Questions, (Occasional Paper No.4), p. 35


[52] Mabid Ali Al-Jarhi, The Case for Universal Banking as a Component of Islamic Banking, on Islamic Economic Studies, (Vol. 12, No. 2 & Vol. 13, No. 1, February & August 2005), p. 1

Rabu, Januari 02, 2013

Cintaku Tak Pernah Memandang Siapa Kamu...

Cinta. Pada awalnya, penulis sama sekali tidak memiliki ketertarikan akan 5 huruf yang konon disakralkan oleh banyak orang. Ketika penulis mendengar seseorang membicarakan masalah cinta, seringkali penulis hanya tertawa dalam hati, menyepelekan. Tidak terbersit dalam pikiran penulis untuk menanggapi secara serius hal tersebut, karena asumsi awalnya, kalau ada anak muda membiacarakan masalah cinta, identik dengan pacaran yang berimplikasi pada main-main dan sekedar menyalurkan hasrat masa muda.

Namun seiring berjalannya waktu, penulis dibuat penasaran oleh apa itu ‘cinta’. Apa benar cinta masa muda itu hanya sekedar ‘main-main’ dan tidak serius. Atau memang di dalamnya sudah ada ‘rasa’ yang  membuat dua orang manusia merasa sudah ‘terikat’ meskipun belum ada ‘aqd syar’i yang disyariatkan oleh agama kita.

‘Rasa’ tersebut, yang sering diterjemahkan oleh banyak orang sebagai ‘cinta’, telah berhasil membuat banyak orang terjerumus ke dalam kemaksiatan yang berujung pada penyesalan di antara kedua belah pihak, karena memang, ‘rasa’ yang mereka terjemahkan sebagai ‘cinta’ itu benar-benar memiliki magnet yang sangat kuat, sampai-sampai mereka tidak sanggup untuk mengontrol diri mereka. Perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal dan di luar rasio pun dilakoni demi 5 huruf yang mereka anggap di atas segala-galanya.

Dari kenyataan di atas, kita dapat berasumsi bahwa ‘cinta’ itu tidak rasional. Banyak orang rela berkorban sesuatu yang tidak pantas mereka korbankan hanya untuk masalah ‘cinta’. Akal mereka telah mati gara-gara rasa yang mereka sebut ‘cinta’. Terlepas dari benar tidaknya terjemahan rasa tersebut sebagai ‘cinta’.

Menurut hemat penulis, ‘cinta’ sebagaimana tersebut memang tidak rasional. Akal manusia seringkali tidak cukup kuat untuk merasionalisasikan ‘cinta’ tersebut. Implikasinya, banyak terjadi hal-hal konyol di luar nalar, dan pada akhirnya, ‘rasa’ itu menjadi racun bagi otak manusia, sulit ditangkal dan dihalangi.  

Di sinilah peran agama mengambil alih. Di saat akal sehat sudah mati dan tidak berfungsi lagi, batasan-batasan agama perlu dikedepankan. Ketika ada hadits nabi yang mengatakan “fazhfar didzaati-d-diin, taribat yadaka”, tentu saja ada pesan-pesan yang harus diperhatikan di situ. Dalam memilih pasangan, yang paling perlu dikedepankan adalah unsur-unsur agamanya. Mungkin wajah memang tidak terlalu indah, tubuh biasa saja, dan bukan dari kalangan berada, namun ketika kriteria agamisnya sudah memenuhi standar, paling tidak sudah ada “unsur selamat” di dalamnya.

Hipotesa awalnya, ‘cinta’ memang tidak rasional, namun batasan agama perlu dikedepankan sehingga tidak menjerumuskan pelaku-pelakunya ke jurang kenistaan.

“Cintaku memang tak pernah memandang siapa kamu...”

Selasa, Januari 01, 2013

Nikmatilah Masa Muda Kalian

Nikmatilah masa muda kalian, jangan sampai kalian menyesal ketika sudah tua nanti”

Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang calon pewaris geng Kantou Sharp Feng, Sakaki Makio, yang ‘turun gunung’ untuk bersekolah di SMU St. Agnes agar bisa menjadi bos geng setelah ayahnya kelak. Makky, begitu ia biasa disapa, adalah seorang yang sangat sangat dan sangat bodoh, dan puncak kebodohannya adalah ketika ia menggagalkan transaksi geng nya yang bernilai 27 juta dolar. Akhirnya, atas inisiatif ayahnya, ia diharuskan untuk kembali bersekolah di SMU, meskipun umurnya sudah 28 tahun.

Pada awalnya, ia sangat membenci sekolah, selain karena ia bodoh, ia menganggap sekolah tidak ada manfaatnya dan hanya buang-buang waktu. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai menikmati masa-masa sekolah, bersama dengan teman-temannya, seperti Sakurakoji Jun, Umemura Hikari dan teman-teman sekelasnya di 3-A.

Itulah sepenggal kisah dari drama Jepang dengan judul My Boss My Hero, sebuah drama yang sarat akan nilai-nilai kehidupan, khas dorama-dorama Jepang.

Di sini, penulis ingin mengambil salah satu dari nilai-nilai kehidupan yang diajarkan film tersebut, yaitu bagaimana menikmati masa muda. Masa muda, menurut Sakaki, perlu untuk dinikmati. Masa muda itu, masih menurut dia, penuh dengan cinta, persahabatan dan belajar. Jangan sampai menyesali masa muda, karena masa muda hanya datang satu kali.

Dalam prakteknya, Sakaki benar-benar menikmati ‘masa muda’nya. Ia bisa merasakan jatuh cinta (kepada Umemura Hikari), persahabatan (apalagi dia adalah ketua kelas 3-A), dan belajar (karena dia adalah murid yang sangat bodoh, wali kelasnya, Yuriko ‘muka besi’ Minami, sangat memperhatikannya, bahkan rela memberinya pelajaran tambahan selama musim panas).

Dalam sudut pandang penulis, benar adanya kita harus menikmati masa muda, namun tentu saja tidak mutlak seperti yang ada dalam film tersebut. Di masa muda, perlu bagi setiap manusia untuk belajar bagaimana mengontrol hawa nafsunya, tidak serta merta menurutinya, sehingga banyak terjadi kemaksiatan dan kemungkaran.

Di masa muda, proses belajar menjadi sangat penting, karena dengan belajar, seseorang akan banyak mengetahui hal baru, yang dengannya dapat membantu untuk meraih cita-cita. Dan tentu saja, diperlukan keuletan, ketekunan, dan kesabaran ekstra dalam belajar, bahkan meskipun pada awalnya otak kita tidak mampu, namun dengan belajar tekun dan giat, niscaya masalah sesulit dan seberat apapun akan mampu dilewati. Uthlubil ‘ilma wa lau bi-s-shiin.

Persahabatan juga menjadi poin yang sangat penting. Bagaimana kita bergaul dengan sesama kita, menjalin hubungan baik dan menjaga perasaan seseorang. Masa muda merupakan masa-masa yang tepat untuk mulai menyadari dan mengamalkan arti-arti sesungguhnya dari persahabatan. Wa shiluu al-arhaam.

Untuk masalah cinta, tentu saja cinta harus kita ke depankan adalah cinta kepada Allah SWT dan RasulNya. Selama masa muda, kita harus banyak belajar untuk lebih mencintai Allah SWT dan RasulNya, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi larangan bukan lagi karena paksaan, tapi murni karena cinta yang tulus kepada Allah SWT dan RasulNya. Baru setelah itu, cinta kepada orang tua dan kepada pasangan.

Cinta model terakhir inilah yang seringkali disalahartikan. Paling tidak, agar tidak nyasar, penting bagi kita untuk memegang teguh prinsip ‘uhibbuk fillah’. Dengan demikian, norma-norma agama akan dapat terus dipegang teguh.

Pada akhirnya, jika senggang, tidak ada salahnya menonton drama ini. Tidak terlalu panjang, hanya 10 episode. It’s highly recommended to you all. (apalagi liat si Aragaki Yui yang cute n imut, dijamin betah nontonnya, ^_^)   


---str.azzy---