Buku ini merupakan buku yang ditulis untuk
mengetahui isu gender yang ada dalam dunia Islam tradisional dan Islam liberal.
Untuk mewakili dunia Islam tradisional, penulis buku menggunakan tokoh Murtadha
Muthahhari, seorang ulama’ Syi’ah pada awal abad kedua puluh. Untuk mewakili
dunia Islam liberal, penulis buku memilih Muhammad Syahrur, seorang pemikir
Islam liberal pada pertengahan abad kedua puluh. Kedua tokoh ini dipilih oleh
penulis karena keduanya memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran mainstream
yang ada saat itu.
Buku ini terbagi kepada dua bagian
besar. Bagian pertama membahas mengenai
relasi gender dalam pandangan poros tradisional yang diwakili oleh Murtadha
Muthahhari. Dalam bagian ini, penulis buku membahas banyak hal, mulai dari
wacana yang muncul, kerangka dan konsep berpikir Muthahhari, hingga intisari
pemikirannya. Di sini, penulis buku menerangkan bahwa pemikiran Muthahhari
tentang relasi gender banyak terfokus pada hukum keluarga, seperti poligami,
talak, waris dan mut’ah. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh munculnya rezim
Pahlavi (1925-1979) di Iran yang gencar melakukan westernisasi di segala aspek
kehidupan. Sumbangsih pemikiran Muthahhari banyak disumbangkan untuk melawan
arus westernisasi yang kencang pada waktu itu. Meski demikian, ia tidak serta
merta terjebak pada arus pemikiran ulama’ salaf yang menurutnya masih bias gender,
namun ia dengan pemikirannya mengusung kesetaraan gender, namun bukan
kesetaraan identik yang diinginkan barat ketika itu, melainkan kesetaraan
kontekstual.
Pada bagian kedua, dijelaskan secara
panjang lebar mengenai poros liberal yang diwakili oleh Muhammad Syahrur. Pola
pembahasan dalam bagian ini tidak persis sama dengan pembahasan bagian pertama,
di mana dalam bagian ini dijelaskan biografi Syahrur, kemudian sumbangsihnya
kepada pemikiran Islam secara umum dan terakhir pemikirannya mengenai problem
relasi gender. Dalam bagian ini, penulis buku menjelaskan bahwa Syahrur,
seorang sarjana teknik lulusan Moskow, menggunakan metode defamiliarization di
mana Syahrur mengedepankan metode penelitian bahasa yang ‘tidak biasa’ dan
mengesampingkan proses otomisasi. Hal ini menjadikan pemikiran-pemikirannya
sangat liberal dan bertolak belakang dengan pemikiran ulama’ salaf. Dalam
kaitannya dengan problem relasi gender, Syahrur mengadopsi pemikiran-pemikiran
barat yang ‘menyetarakan’ perempuan dan laki-laki, kemudian menafsirkan kembali
ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat mengakomodir pemikirannya tersebut.
Dari sedikit penjelasan di atas, terlihat
bahwa penulis buku tidak ‘mendudukkan’ Islam dengan benar. Bagaimana mungkin
kubu Islam yang menurutnya ‘tradisional’ diwakili oleh seorang Syi’ah, padahal
masih banyak ulama’ulama’ yang lebih kompeten dalam pemahaman teks-teks agama,
seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, hingga Wahbah Zuhaili. Ditambah lagi dengan
penamaan buku ‘poros ilahiyah’, seakan ingin membentuk opini pembaca bahwa
dalam Islam ada dua poros yang dapat dirujuk, yang keduanya ternyata sama-sama
sesat, yaitu syi’ah dan liberal.
Terakhir, buku ini cukup baik dalam
memberikan penjelasan mengenai tokoh-tokoh terkait di dalamnya, yaitu
Muthahhari dan Syahrur. Namun pemilihan judul yang ‘apik’ pada akhirnya dapat
mengecoh pembaca sehingga terjebak pada keragu-raguan dan kebingungan. Wallahu
A’lam.
Penulis :
M Nashirudin, M.Ag. dan Sidik Hasan, M.Ag.
Penerbit :
Jaring Pena Surabaya
Cetakan :
I, Februari 2009
Halaman : x + 294 halaman
0 komentar:
Posting Komentar