Masa kecilku dulu

Masa-masa kecilku yang indah bersama keluargaku tercinta.

Teman-teman Seperjuangan di PKU

Terlalu banyak kenangan yang ada di sini.

This is My Family

Keluargaku tercinta. Sumber inspirasi, semangat dan motivasi...

Aku dan Dekanku

Foto bersama dekan dengan baju toga, awesome!

Stavol-Stavol Siman

These all are my dudes.

Jumat, Desember 13, 2013

Sherlock, Miniseries Paling Mantap!

Siang hari di awal bulan November. Waktu itu, aku berkunjung ke seorang teman, dan spontan ia bercerita mengenai sebuah miniseries yang menurutnya sangat luar biasa. Mendengar kata ‘miniseries’, aku sudah terbayang harus menonton selama berjam-jam untuk menghabiskannya, dan aku sudah malas. Namun temanku ini terus memberikan sugesti dan dorongan, yang pada akhirnya, akupun menyerah dan meng-copy filenya. Dari senilah semuanya bermula.

Waktu pertama kali aku tonton, scene awalnya memperlihatkan suasana perang di Afghanistan. Dalam pikiranku, pasti membosankan, karena aku sendiri tidak terlalu suka dengan genre film semacam itu. Namun aku tetap melanjutkan, dan ternyata, miniseries ini telah berhasil membuatku jatuh hati. Bukan apa-apa, munculnya sesosok manusia yang cerdas luar biasa, cool, dan penuh perhitungan membuat aku tidak bisa beranjak dari depan komputer. Dia adalah Sherlock Holmes, si detektif konsultan asal London Inggris.

Miniseries ini memang luar biasa. Dengan judul si tokoh utama, ‘Sherlock’, miniseries ini berhasil memvisualisasikan karakter si detektif jenius ke dalam dunia modern abad 21. Dengan demikian, kesan yang didapatkanpun sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam novel. Meski demikian, karakter Sherlock yang sedikit congkak, Watson yang selalu mengikuti ke mana Sherlock pergi, serta Moriarty si musuh utama, dapat tergambarkan dengan sangat baik dan tidak lepas dari cerita dalam novel.

Miniseries ini sejauh ini sudah berjalan selama dua season, masing-masing terdiri dari tiga episode. Dan yang patut diacungi jempol, Steven Moffat dkk berhasil membuat para penonton penasaran dengan ending episode ketiga di season dua. Dalam episode itu, Sherlock telah ‘memalsukan’ kematiannya. Dari sini, timbul berbagai macam pertanyaan, bagaimana ia melakukannya? Bagaimana nasibnya kelak? Seperti apa pertemuan kembali Sherlock dan Holmes? Mengapa Sherlock melakukannya? Dan masih banyak sekali pertanyaan yang akan segera bisa terjawab sebentar lagi, 1 Januari 2014.

Just can’t wait to watch…!!!

Rabu, Desember 11, 2013

Konsep Fitrah dalam Islam

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali muncul istilah ‘fitrah’. Istilah ini, meskipun cukup familiar, nyatanya masih belum dipahami secara mendalam oleh sebagian besar umat Islam. Padahal sejatinya, istilah ‘fitrah’ memiliki makna yang sangat dalam.

Istilah fitrah berasal dari akar kata bahasa Arab ‘fathara’ yang berarti menciptakan. Dalam Islam, istilah ‘fitrah’ dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyyah. Dalam Al-Qur’an, istilah ‘fitrah’ yang berkorespondensi dengan ‘fathara’ disebutkan 17 kali, dan kebanyakan dalam ayat-ayat yang menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta. Sedangkan dalam Sunnah nabawiyyah, istilah ‘fitrah’ mendapatkan makna yang sangat berbeda dengan penjelasan Al-Qur’an, di mana istilah ini menjelaskan secara langsung mengenai penciptaan manusia. Dalam tulisan ini, fokus pembahasan terletak pada makna istilah ‘fitrah’ yang ada dalam hadits Nabi tersebut.

Hadits mengenai fitrah ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim:
“Tidak ada satupun di antara semua manusia kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian ayahnya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai arti dari kata fitrah di sini. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa makna fitrah di sini adalah dinul haq atau Islam. Menurut pendapat ini, seluruh manusia, terlepas dari di keluarga mana ia dilahirkan, lahir dalam keadaan Islam. Pendapat kedua menyatakan bahwa makna ‘fitrah’ dalam hadits ini berarti keadaan netral, di mana seorang bayi yang baru lahir belum memeluk agama apapun, Islam, Yahudi atau Nasrani, sehingga kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Islam, Yahudi, Nasrani atau Majusi. Menurut mayoritas ulama’, pendapat yang lebih dikedepankan adalah pendapat yang pertama, di mana makna ‘fitrah’ adalah Islam. Makna ini lebih diutamakan karena setelah hadits tersebut, Rasulullah menyampaikan salah satu ayat Al-Qur’an yang mengandung kata ‘fitrah’, yaitu surat Ar-Rum ayat 30, yang mana arti ‘fitrah’ dalam ayat tersebut adalah Islam.

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan sama, yaitu dalam keadaan fitrah Islam. Allah SWT tidak membedakan apakah seorang bayi itu dilahirkan dalam agama apapun, semuanya memiliki fitrah yang sama. Dengan demikian, sekalipun seorang manusia terlahir dalam keluarga kafir, jika ia memiliki kemauan dan kejernihan hati dan pikiran untuk kembali ke fitrahnya, maka ia akan menemukan Islam sebagai agama yang paling benar. Dengan akal yang dibekalkan oleh Allah SWT, seluruh manusia memiliki kesempatan yang sama untuk ‘kembali’ kepada fitrahnya, yaitu Islam. Wallahu A’lam.

Senin, Desember 09, 2013

Menelisik Lebih Dalam Teori Demokrasi

Pada zaman modern ini, kebanyakan Negara-negara di dunia menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Dimulai dari Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris hingga negara-negara berkembang seperti Indonesia telah menganut sistem pemerintahan ini. Mereka beranggapan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang paling menunjang kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, sehingga tak bisa dipungkiri lagi, demokrasi telah mengambil hati para masyarakat di dunia modern saat ini.

 Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintahan. Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat dan bertujuan untuk kemaslahatan mereka sesuai dengan kepentingan yang ada. Dengan kata lain, dalam sistem demokrasi kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara berada di tangan rakyat.

Sejarah demokrasi sendiri sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno tepatnya pada abad ke 5 SM.  Bentuk demokrasi pada zaman Yunani Kuno ini adalah demokrasi langsung (direct democracy) yang mana seluruh rakyat ikut turut serta dalam setiap pengambilan keputusan yang ada dalam pemerintahan. Hal ini dapat terjadi karena pada zaman itu bangsa Yunani terbagi menjadi puluhan bahkan ratusan Negara kota (city state) yang masyarakatnya hanya berjumlah kurang dari 300.000 orang. Sistem pemerintahan ini dianggap lebih efektif dan efisien ketimbang sistem diktatorian yang telah digunakan sebelumnya.

Kemudian pada zaman Romawi hingga abad pertengahan, perkembangan demokrasi seolah terhenti dengan adanya sistem diktatorian dan sikap gereja yang otoriter. Pada zaman itu, nyaris tidak ada perkembangan pemikiran mengenai demokrasi maupun ilmu pengetahuan yang lain. Kurungan gereja telah membuat para ilmuwan segan untuk mengutarakan pemikirannya. Banyak ilmuwan yang ditangkap, dipenjara dan disiksa pada zaman tersebut karena sikap otoriter gereja.

Pemikiran demokrasi modern baru berkembang setelah zaman pertengahan. Dengan pengalaman pahit akan otoritas gereja, para pemikir zaman pertengahan berusaha merumuskan suatu sistem pemerintahan yang berusaha melepaskan diri dari otoritas keagamaan. Dengan demikian bermunculanlah pemikir-pemikir yang mengusung teori demokrasi modern yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam setiap pemikirannya. Dimulai dari munculnya konsep Trias Politica yang dicetuskan pertama kali oleh John Locke (1632-1704) sebagai respon atas kekuasaan absolut raja-raja Inggris. Dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) ia menuliskan bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan dalam tiga bagian, yaitu eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, kemudian legislative sebagai pembuat peraturan dan undang-undang yang di dalamnya termasuk hak untuk mengadili dan kekuasaan federatif yang meliputi keamanan Negara dalam hubungannya dengan Negara lain. Kemudian konsep ini disempurnakan oleh Montesquieu (1689-1755) yang melihat sifat sewenang-wenang dari raja Bourbon di Prancis. Dalam bukunya The Spirit of Laws ia menuliskan bahwa kekuasaan Negara harus terpisah dalam tiga bagian, yaitu kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang dan kekuasaan yudikatif sebagai pihak yang mempertahankan undang-undang.

Di zaman modern ini sistem demokrasi telah mengalami berbagai macam perubahan bentuk dan transformasi nilai-nilai ideologis tertentu. Kita dapat menemukan berbagai macam bentuk demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan lain-lain. Namun yang perlu diperhatikan, dengan berbagai bentuk perubahannya, demokrasi tetap berdasarkan pada “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Pandangan Beberapa Ulama Terhadap Teori Demokrasi
Menurut Abul A’la Maududi (1903-1953), kedaulatan tertinggi mutlak berada di tangan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menetapkan bahwa ketaatan mutlak hanyalah kepadaNya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: Sesunggunya Kami menurunkan kepadamu kitab Al-Qur’an dengan membawa ketaatan. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (Q.S. Az-Zumar:2-3). Selain itu, barang siapa yang meninggalkan hukum Allah dan berhukum kepada hukum ciptaan manusia merupakan suatu bentuk kekufuran, Allah SWT berfirman: Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim (Q.S. Al-Maidah: 44).

Sementara itu menurut Taqiyuddin An-Nabhani, sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, karena sistem demokrasi merupakan sIstem yang mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat memiliki hak mutlak dalam pembuatan undang-undang serta aturan-aturan yang berlaku tanpa harus merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal Islam sendiri telah memiliki landasan-landasan aqidah dan syariat dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam aspek pemerintahan.
Berbeda dengan pendapat Muhammad Rasyid Ridha. Ia berpendapat bahwa dalam pembentukan sebuah sistem pemerintahan, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain maslahah umat yang ditimbulkan dari sistem tersebut dari aspek ukhrowi maupun duniawi, prinsip syuro yang ada  dalam Islam tidak bertentangan dengan substansi dari demokrasi, panduan-panduan yang telah diberikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam sistem pemerintahan dan perlakuan Islam terhadap non-muslim yang penuh dengan toleransi.

Dan di sini, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah memiliki sebuah istilah yang disebut dengan politik berdasarkan syariah (siyasah syar’iyah). Dalam bukunya yang ditulis dengan judul tersebut, Ibnu Taimiyah mengungkapkan konsep-konsep pemerintahan yang berbasiskan syariat, mulai dari etika pengangkatan pemimpin hingga hak-hak masyarakat dalam suatu negara.

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa teori demokrasi merupakan teori yang bertentangan dengan syariat Islam karena kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dan sebagai solusi untuk masalah ini, dapat dibuat suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan sumber hukum yang berbasiskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan maslahat seluruh umat manusia di dunia. Dengan sedikit merubah esensi dari sistem demokrasi yang telah ada sekarang, dapat diciptakan suatu sistem yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Wallahu A’lam bish-showab   

Minggu, November 17, 2013

Ulasan Lagu Fatin - Dia Dia Dia

Awal bulan lalu, pecinta musik tanah air dimanjakan dengan munculnya lagu terbaru Fatin Shidqia berjudul ‘Dia Dia Dia’. Seperti biasa, lagi-lagi Fatin bisa memanjakan para pendengarnya dengan suaranya yang unik, khas dan istimewa. Saya kira bukan hanya Fatinistic saja yang akan mengatakan ini, namun semua orang yang mendengarkan lagu ini akan sepakat, bahwa Fatin berhasil membawakan lagu ini dengan ‘istimewa’.

Seperti lagu pertamanya, ‘Dia Dia Dia’ menjadikan cinta sebagai tema besarnya. Jika ditarik lebih spesifik, tema cinta yang dibawakan Fatin adalah cinta ‘galau’. Seperti lagu pertamanya, lagu ini menggambarkan kondisi seorang wanita yang ‘tegar’ karena cintanya tidak kesampaian. Bedanya, jika di lagu pertamanya Fatin ‘memilih setia’, dalam lagu ini Fatin ‘kecurian hati’. Meski berbeda perspektif, keduanya mengindikasikan bahwa Fatin ‘galau’ karena cinta.

Sejatinya, saya agak kurang setuju Fatin menyanyikan lagu ‘cinta galau’ seperti ini, karena menurut saya Fatin pantas untuk menyanyikan lagu yang menggambarkan ‘cinta berbalas’, seperti lagu Last Child ft. Giselle ‘Separuh Nafas’ atau Afgan dengan ‘Jika Jodoh Pasti Bertemu’. Mungkin manajemen Fatin memilih tema ‘cinta galau’ ini karena di Indonesia tema ini memang sedang booming, dan lagi, banyak pemuda-pemudi Indonesia yang sedang galau, jadi menurut mereka lagu ini bisa mendapat pangsa pasar yang bagus. Selain itu, penampilan Fatin yang berjilbab membuat saya agak kecewa, jika dia terus-terusan galau, karena saya merasa seorang muslimah pantas mendapatkan ‘cinta berbalas’, tidak sekedar ‘cinta galau’.

Terlepas dari itu semua, toh Fatin dalam kesempatan ini tidak hanya mengeluarkan satu lagu, melainkan satu album, ya, satu album. Saya pribadi belum bisa membeli kasetnya di KFC (secara di tempat saya tinggal tidak ada KFC ^_^). Saya yakin harapan saya bisa tercapai, yaitu berharap Fatin menyanyikan lagu ‘cinta berbalas’, tidak hanya sekedar cinta galau.

Bagi yang belum pernah menyimak liriknya, berikut saya sajikan lirik lagu Fatin Dia Dia Dia
Selalu kupikir bahwa aku tegar
Aku tak pernah menyangka kan begini
Dan saat engkau tak di sisiku lagi
Baru kurasakan arti kehilangan

Ingin kubicara, hasrat mengungkapkan
Masih pantaskah ku bersamamu
Tuk lalui hitam putih hidup ini

Saat engkau pergi, tak kau bawa hati
Dan tak ada lagi yang tersisa
Dia...dia...dia...tlah mencuri hatiku

Dan saat hari dimana kau tinggalkanku
Kupikir semuanya kan baik-baik saja
Dan kini baru kusadari semua
Dia...dia...dia...tlah mencuri hatiku

Ingin kubicara, hasrat mengungkapkan
Masih pantaskah ku bersamamu
Tuk lalui hitam putih hidup ini

Saat engkau pergi, tak kau bawa hati
Dan tak ada lagi yang tersisa
Dia...dia...dia...tlah mencuri hatiku

Ingin kubicara .
Tuk lalui hitam putih hidup ini
Saat engkau pergi, tak kau bawa hati
Dan tak ada lagi yang tersisa

Ingin kubicara, hasrat mengungkapkan
Masih pantaskah ku bersamamu (bersamamu)
Tuk lalui hitam putih hidup ini (hitam putih, hidup ini)

Saat engkau pergi, tak kau bawa hati
Dan tak ada lagi yang tersisa
Dia...dia...dia...tlah mencuri hatiku
Dia...dia...dia...tlah mencuri hatiku
Tlah mencuri hatiku
Ooooh...

Posting kali sekian dulu, insyaAllah berikutnya akan segera diposting ulasan lagu-lagu yang lain. 

Minggu, Oktober 27, 2013

Resensi: Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?

Buku ini merupakan terjemahan dari buku panduan mengenai kebebasan beragama yang telah diterbitkan di Norwegia pada tahun 2004. Buku ini menyoroti kebebasan beragama dari berbagai macam aspek, baik dari sisi religius, sosial, budaya, politik dan hukum. Buku ini ditulis dalam bentuk bunga rampai, dan editor menekankan bahwa antara satu tulisan dengan tulisan lainnya bisa jadi memiliki gagasan dan pandangan yang berbeda.

Secara umum, buku ini terdiri dari 13 bab dan masing-masing bab terdiri dari satu tulisan. Sebagai awal, editor menempatkan dua tulisan mengenai analisis historis kebebasan beragama serta justifikasi filosofis dan keagamaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang ditulis oleh Malcolm D Evans dan Tore Lindholm. Kemudian dilanjutkan mengenai kajian sifat, standar minimum dan batasan-batasan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kajian ini ditulis oleh Natan Lerner dan Manfred Nowak serta Tanja Vospernik. Setelah memahami sifat dan batasan yang ada, editor menempatkan tulisan mengenai kajian sistem legal di Eropa mengenai kebebasan beragama serta perumusan undang-undang asosiasi keagamaan yang dianggap perlu. Pembahasan ini dilakukan oleh Javier Martinez, Rafael Navarro Valls dan W Cole Durham Jr.  Bagian selanjutnya membahas mengenai perempuan yang melawan arus keagamaan untuk menyuarakan kesetaraan gender yang dikaji oleh Bahia G Tahzib Lie.

Selanjutnya, editor memasukkan tulisan-tulisan mengenai hal yang sangat sensitif dalam pembahasan kebebasan beragama, yaitu sistem pemujaan, hak persuasif keagamaan dan hak penyebaran agama. Bagian ini ditulis oleh Eileen Barker, Tad Stahnke dan Makau Mutua. Selanjutnya, editor memasukkan tulisan mengenai humanisme dan kebebasan dari agama yang ditulis oleh Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule. Setelah pembahasan berbagai macam wacana itu, barulan editor memasukkan tulisan mengenai toleransi yang digalakkan melalui pendidikan agama yang ditulis oleh Ingvill Thorson Plesner. Tulisan terakhir berupa contoh faktual mengenai kebebasan beragama di Indonesia lengkap dengan perlindungan normatifnya yang ditulis oleh Nicola Colbran. Dalam buku ini juga dilampirkan lampiran-lampiran yang dianggap penting, seperti hasil konferensi Oslo mengenai kebebasan beragama, ketentuan-ketentuan Internasional utama berkenaan dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan lain sebagainya.

Buku ini memiliki kelebihan dari segi kekayaan kajiannya yang sangat luas. Namun pada akhirnya ada beberapa tulisan yang terkesan tumpang tindih dan saling bertentangan dengan tulisan lainnya. Dalam satu tulisan terdapat ajakan menuju humanisme, di tulisan lain menyarankan pendidikan agama. Bagi pembaca yang mengharapkan gagasan utuh dari buku ini, akan dihadapkan pada suatu kebingungan dalam menangkap poin inti dari buku ini.

Memang buku ini ditulis pada awalnya sebagai deskbook (buku panduan), sehingga tulisan-tulisan yang ada di dalamnya sangatlah beragam. Pembaca memang harus menangkap ide-ide dalam masing-masing tulisan secara independen sehingga dapat mendapatkan sesuatu dari buku ini. Sangat disayangkan juga, buku ini tidak mencantumkan satupun tulisan mengenai kebebasan beragama dalam Islam, sehingga tidak ada pembanding yang sepadan dengan konsep kebebasan beragama di barat yang dijabarkan panjang lebar dalam buku ini. Wallahu A’lam.


Judul Asli        : Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook
Penerjemah      : Rafael Edy Bosko dan M Rifa’i Abduh
Editor              : Neni Indriati Wetlesen
Penerbit           : Kanisius Yogyakarta
Cetakan           : I, 2010
Halaman          : xvii + 829 halaman

Sabtu, Oktober 26, 2013

Resensi: Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial

Buku ini mengulas apa yang disebut oleh penulisnya sebagai ‘agama masa depan’. Penulis buku ini menggunakan perspektif filsafat perenial, sehingga buku ini amat kental dengan aroma pluralisme yang mengusung kesetaraan agama-agama.

Sebagai permulaan dari buku ini, penulis menyampaikan mengenai apa itu filsafat perennial dan mengapa bidang ilmu ini tepat digunakan untuk memahami agama. Menurut penulis buku, dengan berlandaskan kepada filsafat perennial, tetap mengakui adanya pluralitas agama, tapi semua agama itu memancar dari kebenaran mutlak (The Truth) yang dengan demikian dapat memperlebar pintu kebenaran sehingga dari sini dapat dipahami bahwa konsep tauhid dalam Islampun tidak lagi eksklusif, melainkan hati dari setiap agama. Berangkat dari pemahaman tersebut, penulis buku mengutarakan bahwa sebenarnya tuhan yang ada dalam agama-agama yang ada di dunia itu sejatinya adalah sama, hanya namanya saja yang berbeda. Menurutnya, perbedaan nama tersebut disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa bahasa manusia tidak akan mampu mengekspresikan wahyu tuhan secara sempurna, sehingga di sana akan tetap ada jarak antara proposisi kognitif yang dibangun oleh nalar manusia di satu sisi dan hakikat tuhan yang tak terjangkau pada sisi lain.

Dengan berlandaskan pemahaman-pemahaman tersebut, muncullah paham-paham keagamaan dewasa ini. Penulis buku menjelaskan setidaknya ada empat paham yang muncul, yaitu deisme (faith without religion), gerakan falsafah kalam (theo-philosopical movement), skriptualis-ideologis dan kebangkitan etno-religius. Kemudian penulis berkesimpulan bahwa munculnya paham-paham ini menandakan adanya perkembangan pemahaman manusia mengenai agama yang kemudian karena sifatnya yang berkembang maka penulis menyebut agama sebagai produk sejarah. Pada akhirnya, penulis buku berkesimpulan bahwa agama masa depan menolak paham aboslutisme memilih apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai relatively absolute. Dengan kata lain, banyak jalan untuk menuju kasih sayang dan kecintaan tuhan, tidak bisa dimonopoli oleh satu agama saja.

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa penulis buku tidak mempercayai adanya satu agama dengan kebenaran mutlak, sehingga semua agama dapat mencapai kebenaran mutlak tersebut. Pengaruh Schuon sangat kental dalam tulisan ini, sehingga landasan kajiannya menjadi rancu dan menafikan abolutisme tuhan agama-agama.

Sebagai kesimpulan, buku ini merupakan buku ‘sesat-menyesatkan’ yang tidak patut dibaca oleh orang awam yang tidak memahami agama, karena dapat terjebak dalam pemahaman yang keliru. Wallahu A’lam.

Penulis             : Komarudin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Cetakan           : I, Maret 2003
Halaman          : vi + 248

Jumat, Oktober 18, 2013

Resensi: Poros-Poros Ilahiyah, Perempuan dalam Lipatan Pemikiran Muslim Tradisional versus Liberal

Buku ini merupakan buku yang ditulis untuk mengetahui isu gender yang ada dalam dunia Islam tradisional dan Islam liberal. Untuk mewakili dunia Islam tradisional, penulis buku menggunakan tokoh Murtadha Muthahhari, seorang ulama’ Syi’ah pada awal abad kedua puluh. Untuk mewakili dunia Islam liberal, penulis buku memilih Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam liberal pada pertengahan abad kedua puluh. Kedua tokoh ini dipilih oleh penulis karena keduanya memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran mainstream yang ada saat itu.

Buku ini terbagi kepada dua bagian besar.  Bagian pertama membahas mengenai relasi gender dalam pandangan poros tradisional yang diwakili oleh Murtadha Muthahhari. Dalam bagian ini, penulis buku membahas banyak hal, mulai dari wacana yang muncul, kerangka dan konsep berpikir Muthahhari, hingga intisari pemikirannya. Di sini, penulis buku menerangkan bahwa pemikiran Muthahhari tentang relasi gender banyak terfokus pada hukum keluarga, seperti poligami, talak, waris dan mut’ah. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh munculnya rezim Pahlavi (1925-1979) di Iran yang gencar melakukan westernisasi di segala aspek kehidupan. Sumbangsih pemikiran Muthahhari banyak disumbangkan untuk melawan arus westernisasi yang kencang pada waktu itu. Meski demikian, ia tidak serta merta terjebak pada arus pemikiran ulama’ salaf yang menurutnya masih bias gender, namun ia dengan pemikirannya mengusung kesetaraan gender, namun bukan kesetaraan identik yang diinginkan barat ketika itu, melainkan kesetaraan kontekstual.

Pada bagian kedua, dijelaskan secara panjang lebar mengenai poros liberal yang diwakili oleh Muhammad Syahrur. Pola pembahasan dalam bagian ini tidak persis sama dengan pembahasan bagian pertama, di mana dalam bagian ini dijelaskan biografi Syahrur, kemudian sumbangsihnya kepada pemikiran Islam secara umum dan terakhir pemikirannya mengenai problem relasi gender. Dalam bagian ini, penulis buku menjelaskan bahwa Syahrur, seorang sarjana teknik lulusan Moskow, menggunakan metode defamiliarization di mana Syahrur mengedepankan metode penelitian bahasa yang ‘tidak biasa’ dan mengesampingkan proses otomisasi. Hal ini menjadikan pemikiran-pemikirannya sangat liberal dan bertolak belakang dengan pemikiran ulama’ salaf. Dalam kaitannya dengan problem relasi gender, Syahrur mengadopsi pemikiran-pemikiran barat yang ‘menyetarakan’ perempuan dan laki-laki, kemudian menafsirkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat mengakomodir pemikirannya tersebut.

Dari sedikit penjelasan di atas, terlihat bahwa penulis buku tidak ‘mendudukkan’ Islam dengan benar. Bagaimana mungkin kubu Islam yang menurutnya ‘tradisional’ diwakili oleh seorang Syi’ah, padahal masih banyak ulama’ulama’ yang lebih kompeten dalam pemahaman teks-teks agama, seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, hingga Wahbah Zuhaili. Ditambah lagi dengan penamaan buku ‘poros ilahiyah’, seakan ingin membentuk opini pembaca bahwa dalam Islam ada dua poros yang dapat dirujuk, yang keduanya ternyata sama-sama sesat, yaitu syi’ah dan liberal.

Terakhir, buku ini cukup baik dalam memberikan penjelasan mengenai tokoh-tokoh terkait di dalamnya, yaitu Muthahhari dan Syahrur. Namun pemilihan judul yang ‘apik’ pada akhirnya dapat mengecoh pembaca sehingga terjebak pada keragu-raguan dan kebingungan. Wallahu A’lam.



Penulis             : M Nashirudin, M.Ag. dan Sidik Hasan, M.Ag.
Penerbit           : Jaring Pena Surabaya
Cetakan           : I, Februari 2009
Halaman          : x + 294 halaman

Rabu, Oktober 16, 2013

Resensi: Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia

Buku ini berbicara mengenai apa itu gender dan bagaimana strategi pengarusutamaannya di Indonesia. Dari judul tersebut, terlihat bahwa penulis buku ini merupakan salah satu pendukung gerakan kesetaraan gender di Indonesia, ditambah lagi dengan pengalamannya dalam proyek Gender Mainstreaming yang diprakarsai oleh United Nations Development Programme dan Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, mempertegas posisinya sebagai salah satu pendukung gerakan gender. Dengan demikian, buku ini pada akhirnya banyak menggunakan pandangan-pandangan sepihak yang cenderung menguntungkan argumen-argumennya saja.

Pada pendahuluan buku ini, Riant mengungkapkan bahwa gerakan kesetaraan gender berbeda dengan feminisme. Dalam bab I, ia menjelaskan mengenai apa itu gender serta membedakannya dengan seks. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa gender differences yang ada dalam masyarakat luas menimbulkan gender inequalities yang mengakibatkan marginalisasi, subordinasi, stereotype, violence dan pembebanan pekerjaan ibu rumah tangga. Ketidakadilan tersebut menimbulkan perspektif gender di mana pada akhirnya berimplikasi pada pembedaan perlakuan seseorang berdasarkan jenis kelamin. Di bab II, ia memperjelas kembali kondisi tersebut dengan memberikan latar belakang perempuan dalam perspektif sejarah. Selanjutnya, dalam bab III ia menjelaskan berbagai macam aliran feminisme dan kesetaraan gender, seperti feminisme radikal, liberal, radikal libertarian, radikal kultural, hingga feminisme Islam yang kesemuanya bersama memperjuangkan perempuan yang kerap tertindas karena status gendernya.

Dalam pembahasan gender di Indonesia, Riant membahasnya dalam 4 bab selanjutnya. Dalam bab IV, ia menjelaskan pergerakan wanita Indonesia sejak zaman pra kemerdekaan hingga era reformasi. Setidaknya ia membagi perjuangan perempuan Indonesia ke dalam empat tahap. Tahap pertama pada zaman pra kemerdekaan, di mana dalam zaman ini mulai muncul gerakan yang menginginkan perempuan tampil di depan umum. Setelah itu pada era pasca kemerdekaan hingga 1965 lebih banyak diwarnai oleh pergerakan perempuan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian pada era orde baru, yang ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi perempuan, termasuk di dalamnya Pusat Studi Wanita. Dan terakhir era reformasi yang ditandai dengan gerakan yang memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan Indonesia. Pada bab selanjutnya, diterangkan bahwa kebudayaan Indonesia ternyata sangat bias gender. Riant mencontohkan kebudayaan yang ada di Batak, Minangkabau, Jawa, Minahasa dan Bali yang masih menganggap perempuan sebagai the second sex. Sebagai langkah antisipasi, ia menyelipkan satu bab yang membahas Gender sebagai agenda, di mana gerakan ini pertama kali muncul di Washington pada tahun 1970an dengan istilah Women in Development  yang kemudian berubah menjadi Gender and Development, yang mengusung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Berangkat dari situ, muncullah gerakan-gerakan seperti gender mainstreaming, gender budget, dan lain sebagainya. Terakhir, Riant menyusun strategi yang bersifat teknis guna mengupayakan pengarusutamaan gender, yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan administrasi publik. Setelah menjelaskan strategi, kebijakan dan mekanisme yang harus ditempuh, Riant juga menekankan perlunya lembaga-lembaga penunjang yang dapat menyokong terwujudnya hal tersebut.

Buku ini, dalam pembahasannya ternyata banyak memiliki kecacatan metodologis dan kerancuan epistemologis. Riant banyak mengambil argumen setengah-setengah dan tidak komprehensif, seperti kesalahannya dalam mengutip pendapat Ratna Megawangi yang jelas kontra gerakan persamaan gender. Selain itu, Riant nyaris tidak menyentuh sama sekali aspek institusi keluarga dan selalu berusaha membentuk opini pembaca bahwa perempuan yang baik adalah yang memiliki peran setara dengan laki-laki, tanpa memikirkan perannya sebagai seorang ibu. Riant juga menafikan peran Islam di Indonesia, padahal Islam sebagai agama mayoritas penduduk rakyat Indonesia harus dijadikan dasar atas segala tindak tanduk penganutnya yang ada di Indonesia.


Dengan melihat hal-hal tersebut, buku ini tidak direkomendasikan untuk orang-orang awam, dan dapat dibaca oleh kalangan akademisi selama dapat meletakkan buku ini dalam porsinya sebagai ‘buku sesat’. Wallahu A’lam.

Penulis             : Dr. Riant Nugroho
Penerbit           : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan           : I, November 2008
Halaman          : 265 halaman

Selasa, Oktober 15, 2013

Pengertian Fungsi Produksi Constant Elasticity of Substitution (CES)


Fungsi produksi adalah rumusan yang menjelaskan mengenai jumlah output maksimum yang dapat diproduksi dari beberapa kombinasi input yang berbeda dengan teknologi tertentu.[1] Di sini, saya bermaksud untuk menguraikan fungsi produksi elastisitas substitusi yang konstan atau lebih dikenal dengan Constant Elasticity of Substitution (CES).

Fungsi produksi CES ini pertama kali dikenalkan oleh Robert M Sollow pada tahun 1956.[2] Namun fungsi produksi ini mulai banyak dikenal ketika Sollow menulis sebuah artikel jurnal bersama K.J. Arrow dan H.B. Chenery pada tahun 1961 dengan makalah berjudul Capital Labor Substitution and Economic Efficiency. Dalam tulisan tersebut, mereka menjelaskan teori fungsi produksi CES yang mereka tawarkan berbeda dengan teori fungsi produksi yang sudah ada, yaitu teori fungsi produksi Walras-Leontief-Harold-Domar (yang kemudian lebih dikenal dengan fungsi produksi Leontief) dan fungsi produksi Cobb-Douglas, di mana fungsi produksi Leontief berasumsi bahwa dalam fungsi produksi terdapat koefisien input yang konstan, sedangkan fungsi produksi Cobb-Douglas berasumsi bahwa dalam fungsi produksi terdapat substitusi elastis yang seimbang antara modal dan tenaga kerja.[3] 

Dalam CES, Sollow dkk menekankan bahwa ada aspek penting lain yang tidak diperhitungkan oleh kedua fungsi produksi yang sudah ada, yaitu tingkat penggunaan teknologi yang berbeda dari masing-masing industri yang berbeda. Dari sini kemudian Sollow dkk mengkaitkannya dengan produktivitas pekerja dalam menghasilkan barang, yang pada akhirnya menghasilkan 3 parameter inti, yaitu parameter substitusi, parameter distribusi dan parameter efisiensi.[4] Dari situlah kemudian ia menyimpulkan bahwa substitusi antara modal dan tenaga kerja bersifat konstan atau terus menerus.
Dalam penulisan matematis, fungsi produksi CES berbentuk seperti ini:


Y = output
C = parameter efisiensi
K = input modal
N = input tenaga kerja
π = parameter distribusi
σ = elastisitas substitusi modal dan tenaga kerja[5]

Berdasarkan formulasi di atas, Sollow dkk berasumsi bahwa elastisitas substitusi antara modal dan tenaga kerja tidak selalu tetap. Maka dari itu, mereka beranggapan bahwa fungsi produksi CES lebih fleksibel dan lebih realistis dari fungsi-fungsi produksi yang sudah ada.[6]


[1] Eric Miller, “An Assesment of CES and Cobb-Douglas Production Functions”, Working Paper at Congressional Budget Office, June 2008.
[2] Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai awal mula fungsi produksi CES, lihat Robert M. Sollow, “A Contribution to the Theory of Economic Growth”, The Quarterly Journal of Economics, Vol.70, No.1. (February 1956).
[3] K.J. Arrow, H.B. Chenery, B.S. Minhas dan R.M. Sollow, “Capital-Labor Substitution and Economic Efficiency”, The Review of Economics and Statistics, Vol. XLIII, Agustus 1961, No. 3. Hal. 225
[4] Ibid, hal. 226
[5] Rainer Klump, Peter McAdam, dan Alpo Williams, “The Normalized CES Production Function, Theory and Empirics”, Working Paper Series, European Central Bank, No. 1294/ February 2011. Hal. 12
[6] Sollow, et.all. “Capital…”, hal.246.