Masa kecilku dulu

Masa-masa kecilku yang indah bersama keluargaku tercinta.

Teman-teman Seperjuangan di PKU

Terlalu banyak kenangan yang ada di sini.

This is My Family

Keluargaku tercinta. Sumber inspirasi, semangat dan motivasi...

Aku dan Dekanku

Foto bersama dekan dengan baju toga, awesome!

Stavol-Stavol Siman

These all are my dudes.

Jumat, Desember 13, 2013

Sherlock, Miniseries Paling Mantap!

Siang hari di awal bulan November. Waktu itu, aku berkunjung ke seorang teman, dan spontan ia bercerita mengenai sebuah miniseries yang menurutnya sangat luar biasa. Mendengar kata ‘miniseries’, aku sudah terbayang harus menonton selama berjam-jam untuk menghabiskannya, dan aku sudah malas. Namun temanku ini terus memberikan sugesti dan dorongan, yang pada akhirnya, akupun menyerah dan meng-copy filenya. Dari senilah semuanya bermula.

Waktu pertama kali aku tonton, scene awalnya memperlihatkan suasana perang di Afghanistan. Dalam pikiranku, pasti membosankan, karena aku sendiri tidak terlalu suka dengan genre film semacam itu. Namun aku tetap melanjutkan, dan ternyata, miniseries ini telah berhasil membuatku jatuh hati. Bukan apa-apa, munculnya sesosok manusia yang cerdas luar biasa, cool, dan penuh perhitungan membuat aku tidak bisa beranjak dari depan komputer. Dia adalah Sherlock Holmes, si detektif konsultan asal London Inggris.

Miniseries ini memang luar biasa. Dengan judul si tokoh utama, ‘Sherlock’, miniseries ini berhasil memvisualisasikan karakter si detektif jenius ke dalam dunia modern abad 21. Dengan demikian, kesan yang didapatkanpun sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam novel. Meski demikian, karakter Sherlock yang sedikit congkak, Watson yang selalu mengikuti ke mana Sherlock pergi, serta Moriarty si musuh utama, dapat tergambarkan dengan sangat baik dan tidak lepas dari cerita dalam novel.

Miniseries ini sejauh ini sudah berjalan selama dua season, masing-masing terdiri dari tiga episode. Dan yang patut diacungi jempol, Steven Moffat dkk berhasil membuat para penonton penasaran dengan ending episode ketiga di season dua. Dalam episode itu, Sherlock telah ‘memalsukan’ kematiannya. Dari sini, timbul berbagai macam pertanyaan, bagaimana ia melakukannya? Bagaimana nasibnya kelak? Seperti apa pertemuan kembali Sherlock dan Holmes? Mengapa Sherlock melakukannya? Dan masih banyak sekali pertanyaan yang akan segera bisa terjawab sebentar lagi, 1 Januari 2014.

Just can’t wait to watch…!!!

Rabu, Desember 11, 2013

Konsep Fitrah dalam Islam

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali muncul istilah ‘fitrah’. Istilah ini, meskipun cukup familiar, nyatanya masih belum dipahami secara mendalam oleh sebagian besar umat Islam. Padahal sejatinya, istilah ‘fitrah’ memiliki makna yang sangat dalam.

Istilah fitrah berasal dari akar kata bahasa Arab ‘fathara’ yang berarti menciptakan. Dalam Islam, istilah ‘fitrah’ dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyyah. Dalam Al-Qur’an, istilah ‘fitrah’ yang berkorespondensi dengan ‘fathara’ disebutkan 17 kali, dan kebanyakan dalam ayat-ayat yang menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta. Sedangkan dalam Sunnah nabawiyyah, istilah ‘fitrah’ mendapatkan makna yang sangat berbeda dengan penjelasan Al-Qur’an, di mana istilah ini menjelaskan secara langsung mengenai penciptaan manusia. Dalam tulisan ini, fokus pembahasan terletak pada makna istilah ‘fitrah’ yang ada dalam hadits Nabi tersebut.

Hadits mengenai fitrah ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim:
“Tidak ada satupun di antara semua manusia kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian ayahnya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai arti dari kata fitrah di sini. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa makna fitrah di sini adalah dinul haq atau Islam. Menurut pendapat ini, seluruh manusia, terlepas dari di keluarga mana ia dilahirkan, lahir dalam keadaan Islam. Pendapat kedua menyatakan bahwa makna ‘fitrah’ dalam hadits ini berarti keadaan netral, di mana seorang bayi yang baru lahir belum memeluk agama apapun, Islam, Yahudi atau Nasrani, sehingga kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Islam, Yahudi, Nasrani atau Majusi. Menurut mayoritas ulama’, pendapat yang lebih dikedepankan adalah pendapat yang pertama, di mana makna ‘fitrah’ adalah Islam. Makna ini lebih diutamakan karena setelah hadits tersebut, Rasulullah menyampaikan salah satu ayat Al-Qur’an yang mengandung kata ‘fitrah’, yaitu surat Ar-Rum ayat 30, yang mana arti ‘fitrah’ dalam ayat tersebut adalah Islam.

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan sama, yaitu dalam keadaan fitrah Islam. Allah SWT tidak membedakan apakah seorang bayi itu dilahirkan dalam agama apapun, semuanya memiliki fitrah yang sama. Dengan demikian, sekalipun seorang manusia terlahir dalam keluarga kafir, jika ia memiliki kemauan dan kejernihan hati dan pikiran untuk kembali ke fitrahnya, maka ia akan menemukan Islam sebagai agama yang paling benar. Dengan akal yang dibekalkan oleh Allah SWT, seluruh manusia memiliki kesempatan yang sama untuk ‘kembali’ kepada fitrahnya, yaitu Islam. Wallahu A’lam.

Senin, Desember 09, 2013

Menelisik Lebih Dalam Teori Demokrasi

Pada zaman modern ini, kebanyakan Negara-negara di dunia menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Dimulai dari Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris hingga negara-negara berkembang seperti Indonesia telah menganut sistem pemerintahan ini. Mereka beranggapan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang paling menunjang kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, sehingga tak bisa dipungkiri lagi, demokrasi telah mengambil hati para masyarakat di dunia modern saat ini.

 Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintahan. Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat dan bertujuan untuk kemaslahatan mereka sesuai dengan kepentingan yang ada. Dengan kata lain, dalam sistem demokrasi kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara berada di tangan rakyat.

Sejarah demokrasi sendiri sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno tepatnya pada abad ke 5 SM.  Bentuk demokrasi pada zaman Yunani Kuno ini adalah demokrasi langsung (direct democracy) yang mana seluruh rakyat ikut turut serta dalam setiap pengambilan keputusan yang ada dalam pemerintahan. Hal ini dapat terjadi karena pada zaman itu bangsa Yunani terbagi menjadi puluhan bahkan ratusan Negara kota (city state) yang masyarakatnya hanya berjumlah kurang dari 300.000 orang. Sistem pemerintahan ini dianggap lebih efektif dan efisien ketimbang sistem diktatorian yang telah digunakan sebelumnya.

Kemudian pada zaman Romawi hingga abad pertengahan, perkembangan demokrasi seolah terhenti dengan adanya sistem diktatorian dan sikap gereja yang otoriter. Pada zaman itu, nyaris tidak ada perkembangan pemikiran mengenai demokrasi maupun ilmu pengetahuan yang lain. Kurungan gereja telah membuat para ilmuwan segan untuk mengutarakan pemikirannya. Banyak ilmuwan yang ditangkap, dipenjara dan disiksa pada zaman tersebut karena sikap otoriter gereja.

Pemikiran demokrasi modern baru berkembang setelah zaman pertengahan. Dengan pengalaman pahit akan otoritas gereja, para pemikir zaman pertengahan berusaha merumuskan suatu sistem pemerintahan yang berusaha melepaskan diri dari otoritas keagamaan. Dengan demikian bermunculanlah pemikir-pemikir yang mengusung teori demokrasi modern yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam setiap pemikirannya. Dimulai dari munculnya konsep Trias Politica yang dicetuskan pertama kali oleh John Locke (1632-1704) sebagai respon atas kekuasaan absolut raja-raja Inggris. Dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) ia menuliskan bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan dalam tiga bagian, yaitu eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, kemudian legislative sebagai pembuat peraturan dan undang-undang yang di dalamnya termasuk hak untuk mengadili dan kekuasaan federatif yang meliputi keamanan Negara dalam hubungannya dengan Negara lain. Kemudian konsep ini disempurnakan oleh Montesquieu (1689-1755) yang melihat sifat sewenang-wenang dari raja Bourbon di Prancis. Dalam bukunya The Spirit of Laws ia menuliskan bahwa kekuasaan Negara harus terpisah dalam tiga bagian, yaitu kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang dan kekuasaan yudikatif sebagai pihak yang mempertahankan undang-undang.

Di zaman modern ini sistem demokrasi telah mengalami berbagai macam perubahan bentuk dan transformasi nilai-nilai ideologis tertentu. Kita dapat menemukan berbagai macam bentuk demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan lain-lain. Namun yang perlu diperhatikan, dengan berbagai bentuk perubahannya, demokrasi tetap berdasarkan pada “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Pandangan Beberapa Ulama Terhadap Teori Demokrasi
Menurut Abul A’la Maududi (1903-1953), kedaulatan tertinggi mutlak berada di tangan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menetapkan bahwa ketaatan mutlak hanyalah kepadaNya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: Sesunggunya Kami menurunkan kepadamu kitab Al-Qur’an dengan membawa ketaatan. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (Q.S. Az-Zumar:2-3). Selain itu, barang siapa yang meninggalkan hukum Allah dan berhukum kepada hukum ciptaan manusia merupakan suatu bentuk kekufuran, Allah SWT berfirman: Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim (Q.S. Al-Maidah: 44).

Sementara itu menurut Taqiyuddin An-Nabhani, sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, karena sistem demokrasi merupakan sIstem yang mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat memiliki hak mutlak dalam pembuatan undang-undang serta aturan-aturan yang berlaku tanpa harus merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal Islam sendiri telah memiliki landasan-landasan aqidah dan syariat dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam aspek pemerintahan.
Berbeda dengan pendapat Muhammad Rasyid Ridha. Ia berpendapat bahwa dalam pembentukan sebuah sistem pemerintahan, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain maslahah umat yang ditimbulkan dari sistem tersebut dari aspek ukhrowi maupun duniawi, prinsip syuro yang ada  dalam Islam tidak bertentangan dengan substansi dari demokrasi, panduan-panduan yang telah diberikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam sistem pemerintahan dan perlakuan Islam terhadap non-muslim yang penuh dengan toleransi.

Dan di sini, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah memiliki sebuah istilah yang disebut dengan politik berdasarkan syariah (siyasah syar’iyah). Dalam bukunya yang ditulis dengan judul tersebut, Ibnu Taimiyah mengungkapkan konsep-konsep pemerintahan yang berbasiskan syariat, mulai dari etika pengangkatan pemimpin hingga hak-hak masyarakat dalam suatu negara.

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa teori demokrasi merupakan teori yang bertentangan dengan syariat Islam karena kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dan sebagai solusi untuk masalah ini, dapat dibuat suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan sumber hukum yang berbasiskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan maslahat seluruh umat manusia di dunia. Dengan sedikit merubah esensi dari sistem demokrasi yang telah ada sekarang, dapat diciptakan suatu sistem yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Wallahu A’lam bish-showab