Minggu, Januari 06, 2013

Larangan Duduk Terbuka Alias ‘Ngangkang’ Bagi Wanita Saat Berboncengan, Tepatkah?

Beberapa hari lalu, negeri ini dihebohkan dengan munculnya surat edaran dari Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya, sehubungan dengan anjuran untuk tidak duduk terbuka alias ‘ngangkang’ saat berboncengan sepeda motor. Dalam surat edaran tersebut, wanita-wanita di Lhokseumawe dihimbau untuk tidak ‘ngangkang’ saat dibonceng, dengan dalih budaya, adat istiadat, dan yang terpenting, menjaga marwah perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, surat edaran yang dikeluarkan oleh walikota ini hanya bersifat anjuran saja, namun ke depannya, Pemkot akan mengevaluasi berjalannya anjuran ini, dan jika memungkinkan, akan dikeluarkan qanun atau perda tertulis berkenaan dengan hal ini.

Belum genap sehari surat edaran ini dikeluarkan, banyak pihak sudah mempertanyakan kebijakan ini. Anggota DPR-RI dari FDI-P, Eva Kusuma Sundari, berpendapat bahwa pemkot semestinya lebih memperhatikan keselamatan wanita saat berkendara, bukan hanya ‘menyenangkan’ ulama’ saja. Menurut Norma Manalu, Aktivis Bali Syura Inong Aceh, surat edaran itu merupakan salah satu bentuk ‘salah kaprah’ dalam memahami syariat Islam. Lain lagi dengan Musdah Mulia, ia berpendapat bahwa peraturan ini sangat ‘tidak masuk akal’.

Terlepas dari kontroversi yang dihadirkan oleh surat edaran ini, perlu rasanya bagi kita untuk menelaah, tepatkah dikeluarkannya surat edaran ini. Jika ditinjau dari sisi syariat, sejatinya tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk duduk ‘ngangkang’ saat berkendara. Hal ini dibuktikan dengan banyak sahabat wanita pada zaman Rasulullah SAW yang mahir berkuda. Aisyah ra. menaiki unta juga dengan duduk terbuka, tidak menyamping.

Meski demikian, ada kalanya duduk terbuka alias ‘ngangkang’ saat berboncengan ini dapat dianalogikan dengan ‘menyerupai’ laki-laki, seperti hadits riwayat Bukhari ra. yang berbunyi "Rasulullah saw. melaknat para laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan wanita yang menyerupai kaum laki-laki,". Jika berpatokan pada hadits ini, maka larangan duduk ‘ngangkang’ ini dapat dibenarkan, karena posisi duduk demikian dianggap ‘menyerupai’ laki-laki.

Namun di sisi lain, posisi duduk ‘ngangkang’ saat berboncengan pun tidak dapat serta merta dianggap ‘menyerupai’ laki-laki. Adakalanya posisi duduk ‘ngangkang’ ini membuat wanita lebih nyaman berkendara, sehingga dapat menunjang keselamatan berkendara. Selain itu, jika wanita tersebut membawa banyak barang atau sambil menggendong anaknya, maka akan lebih aman duduk ‘ngangkang’.

Melihat dari fakta-fakta tersebut, sejatinya surat edaran larangan ‘ngangkang’ saat berboncengan tersebut tidak menjadi masalah. Namun, ada baiknya sifatnya sebagai ‘anjuran’ tetap sebagai anjuran, karena banyak wanita yang duduk ngangkang untuk alasan-alasan yang jelas, seperti membawa barang, menggendong anak hingga adanya rasa nyaman dan aman dalam berkendara. Surat edaran ini juga menjadi ‘pesan’, tidak hanya bagi wanita di Lhokseumawe, tapi bagi seluruh wanita di Indonesia, apakah mereka masih memiliki perhatian kepada hal-hal kecil yang mungkin kerap luput dari pandangan mereka. Wallahu A’lam.

0 komentar: