Cinta. Pada awalnya, penulis sama sekali tidak memiliki ketertarikan akan 5 huruf yang konon disakralkan oleh banyak orang. Ketika penulis mendengar seseorang membicarakan masalah cinta, seringkali penulis hanya tertawa dalam hati, menyepelekan. Tidak terbersit dalam pikiran penulis untuk menanggapi secara serius hal tersebut, karena asumsi awalnya, kalau ada anak muda membiacarakan masalah cinta, identik dengan pacaran yang berimplikasi pada main-main dan sekedar menyalurkan hasrat masa muda.
Namun seiring berjalannya waktu, penulis dibuat penasaran oleh apa itu ‘cinta’. Apa benar cinta masa muda itu hanya sekedar ‘main-main’ dan tidak serius. Atau memang di dalamnya sudah ada ‘rasa’ yang membuat dua orang manusia merasa sudah ‘terikat’ meskipun belum ada ‘aqd syar’i yang disyariatkan oleh agama kita.
‘Rasa’ tersebut, yang sering diterjemahkan oleh banyak orang sebagai ‘cinta’, telah berhasil membuat banyak orang terjerumus ke dalam kemaksiatan yang berujung pada penyesalan di antara kedua belah pihak, karena memang, ‘rasa’ yang mereka terjemahkan sebagai ‘cinta’ itu benar-benar memiliki magnet yang sangat kuat, sampai-sampai mereka tidak sanggup untuk mengontrol diri mereka. Perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal dan di luar rasio pun dilakoni demi 5 huruf yang mereka anggap di atas segala-galanya.
Dari kenyataan di atas, kita dapat berasumsi bahwa ‘cinta’ itu tidak rasional. Banyak orang rela berkorban sesuatu yang tidak pantas mereka korbankan hanya untuk masalah ‘cinta’. Akal mereka telah mati gara-gara rasa yang mereka sebut ‘cinta’. Terlepas dari benar tidaknya terjemahan rasa tersebut sebagai ‘cinta’.
Menurut hemat penulis, ‘cinta’ sebagaimana tersebut memang tidak rasional. Akal manusia seringkali tidak cukup kuat untuk merasionalisasikan ‘cinta’ tersebut. Implikasinya, banyak terjadi hal-hal konyol di luar nalar, dan pada akhirnya, ‘rasa’ itu menjadi racun bagi otak manusia, sulit ditangkal dan dihalangi.
Di sinilah peran agama mengambil alih. Di saat akal sehat sudah mati dan tidak berfungsi lagi, batasan-batasan agama perlu dikedepankan. Ketika ada hadits nabi yang mengatakan “fazhfar didzaati-d-diin, taribat yadaka”, tentu saja ada pesan-pesan yang harus diperhatikan di situ. Dalam memilih pasangan, yang paling perlu dikedepankan adalah unsur-unsur agamanya. Mungkin wajah memang tidak terlalu indah, tubuh biasa saja, dan bukan dari kalangan berada, namun ketika kriteria agamisnya sudah memenuhi standar, paling tidak sudah ada “unsur selamat” di dalamnya.
Hipotesa awalnya, ‘cinta’ memang tidak rasional, namun batasan agama perlu dikedepankan sehingga tidak menjerumuskan pelaku-pelakunya ke jurang kenistaan.
“Cintaku memang tak pernah memandang siapa kamu...”
0 komentar:
Posting Komentar