Luar Biasa! Itulah dua kata yang paling tepat untuk menggambarkan pengalaman yang penulis dapat ketika mengikuti acara Workshop Program Kaderisasi Ulama’ di Pondok Modern Gontor Putri 1 dan 3. Bukan hanya dari sisi akademis workshopnya saja, namun penulis banyak mendapat pengetahuan baru mengenai pondok putri yang belum penulis ketahui sebelumnya.
Perjalanan penulis dimulai di suatu pagi di hari Jum’at (29/4). Penulis beserta rombongan peserta PKU memulai perjalanan menuju Pondok Modern Gontor Putri 1.
Di sana, kami bersilaturrahim dengan pengasuh pondok, KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi. Dalam pertemuan yang bisa dikatakan sangat singkat, beliau banyak menjelaskan mengenai seluk beluk kepondokmodernan dalam perspektif putri Di awal penjelasannya, beliau bertanya kepada rombongan kami “Apa yang kalian pahami mengenai pondok putri, dan masukan apa yang bisa kalian utarakan untuk memajukan pondok putri?”. Beliau pun menunjuk beberapa orang dari peserta PKU untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang pertama menjawab “masya Allah”. Menurut penjawab pertama, Gontor, dengan pengalaman dan system yang dimilikinya, sudah tidak perlu diragukan lagi. Di sini, dia menyamakan antara Gontor putra dan Gontor putri. Penjawab keduapun tidak jauh dari statemen itu. Dan penjawab terakhir, sedikit agak melenceng jawabannya, ia mengutarakan bahwa jangan sampai ada diskriminasi, jika ada PKU, harus ada juga PKA (Program Kaderisasi ‘Alimat) (Mungkin jawaban tersebut adalah bentuk kegelisahan dia sebagai seorang bujang yang sedang mencari pasangan). Setelah mendengar jawaban dari para peserta PKU, dengan eksen yang berwibawa, Ust Hidayatullah mengeluarkan sebuah kalimat yang merupakan antiklimaks dari jawaban kawan-kawan, yaitu “Gontor Putri tidak bisa disamakan dengan Gontor Putra”.
Selanjutnya, beliau banyak menjelaskan mengenai filosofi pondok putri, lika-liku mengurusi pondok putri, dan lain sebagainya. Beliau menjelaskan, bahwa jika di Gontor itu mencetak pejuang, maka di pondok putri itu mencetak partner pejuang. Beliau menganalogikan, Gontor itu ibarat sarang singa jantan, dan di Gontor Putri merupakan sarang singa betina. Di sini, harapan beliau adalah bagaimana nantinya alumni-alumni pondok putri dapat menjadi partner hidup dari para pejuang-pejuang di seantero negeri, tidak hanya terbatas pada partner alumni Gontor saja, namun seluruh pejuang seantero negeri. Harapan beliau ini berusaha beliau wujudkan dengan penerapan disiplin, pendidikan kepesantrenan dan dengan cara-cara yang lain, sehingga harapan beliau untuk mewujudkan singa-singa betina yang dapat menjadi partner bagi singa-singa jantan dapat terwujud, singa-singa yang dapat mengaum dan bukan singa-singa yang mengembik atau berkokok.
Kemudian, beliau juga mengutarakan kepada rombongan, bahwa singa itu hanya cocok dengan singa. Dengan kata lain, pendidikan di Gontor mengarahkan para alumninya untuk menjadi singa, begitu pula di Gontor Putri. Dan konklusinya, jika memang para peserta PKU ini sudah dididik di Gontor dan sudah merasa menjadi singa, maka tempat yang tepat untuk mencari singa betina adalah di Gontor Putri, karena mnurut beliau, di situlah sarang singa betina itu berada, jadi tidak perlu bersusah-susah mencari di tempat lain.
Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Modern Gontor Putri 3. Sebenarnya, pagi itu rombongan PKU ingin segera melaksanakan workshop juga di pondok putri 1, namun berhubung ada miskomunikasi, dan pagi itu juga ada acara KMI Prima, maka Ust. Hidayatullah menghubungi pihak pengasuhan untuk mengkoordinir acara workshop agar diadakan pada jam 2 siang.
Begitu memasuki gerbang pondok putri 3, kami dikejutkan dengan sambutan yang begitu hangat dari para bawwabah (penjaga gerbang) yang sudah mempersilahkan kami masuk dan menuntun kami untuk menuju rumah Ust Hudaya. Hal ini cukup mengejutkan kami, karena di luar dugaan, sampai penjaga gerbangpun mengetahui kedatangan kami, sesuatu yang tidak kami dapat di Pondok Putri 1 (hal ini setidaknya menyiratkan sedikit keunggulan manajerial pondok putri 3). Setibanya di rumah Ust Hudaya, kami disambut dengan hangat dan kemudian dipersilahkan untuk beristirahat sejenak di guest house yang di dalamnya sudah menunggu dayang-dayang dari negeri dongeng (sebuah ungkapan untuk menggambarkan staf bagian penerimaan tamu yang menurut penulis memiliki standar wajah di atas rata-rata) yang menyediakan teh beserta makanan-makanan kecil lainnya. Dan sesuai dugaan penulis, salah satu dari mereka adalah calon pasangan dari salah satu rombongan kami.
Karena memang jadwal kami di sana untuk mengisi workshop pada pukul 09.00, maka setelah istirahat sejenak kami segera menuju balai pertemuan untuk memulai acara. Peserta seminar cukup banyak, terdiri dari mahasiswi ISID divisi Karangbanyu dan seluruh santriwati kelas 6. Kemudian satu hal yang turut menjadi perhatian penulis, ada background yang tertempel untuk acara ini, padahal baru malam sebelumnya kami mengabarkan bahwa akan ada acara workshop di putri 3, sesuatu yang cukup mengejutkan penulis.
Acara kami di sana berjalan lancer. Pertanyaan-pertanyaan yang timbulpun mengesankan bahwa mahasiswi dan santriwati di sana mengikuti acara dengan baik, karena memang pertanyaan-pertanyaan yang timbul sangat analitis kritis, dan hal ini mengejutkan salah satu dari rombongan PKU, karena memang selama ini belum ada yang bertanya sampai sekritis itu kepada dia. Apresiasi penuh untuk acara workshop di pondok putri 3.
Sejatinya, acara workshop ini dapat berjalan lebih lama karena memang diskusi yang ada terlihat menarik. Namun berhubung waktu sudah mendekati waktu sholat Jum’at, maka acara tersebut harus diakhiri dengan harapan acara tersebut dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan.
Selepas sholat Jum’at, kami dijamu oleh bapak pengasuh Pondok Putri 3, Ust Muhammad Hudaya. Dalam kesempatan tersebut, para rombongan banyak mengobrol dengan beliau mengenai banyak hal. Beliau banyak bercerita mengenai bagaimana memimpin pondok putri 3. Beliau banyak mengambil filosofi kepemimpinannya dari KH Abdullah Syukri Zarkasyi, pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Berbeda dengan Ust Hidayatullah, Ust Hudaya terkesan banyak menggunakan pendekatan-pendekatan yang mirip dengan apa yang diterapkan Ust Syukri di Gontor Putra, tentu saja dengan beberapa penyesuain dengan kapasitas mereka sebagai perempuan.
Setelah melalui beberapa obrolan, rombongan melanjutkan perjalan ke Pondok Putri 1 (lagi). Rencananya, peserta PKU akan melakukan workshop sebagaimana yang kami lakukan di Gontor Putri 3, karena pada pagi hari kedatangan kami ke sana kami belum sempat melaksanakannya. Namun di luar dugaan, terjadi miskomunikasi (lagi) antara Ust Hidayatullah dan salah satu staf pengasuhan di sana, sehingga instruksi beliau untuk mengkoordinir acara workshop disalah artikan. Dan dengan bingungnya, staf DEMA divisi Mantingan mendatangi kami dan berusaha menjelaskan kesalah pahaman ini. Beruntung, pembimbing kami memakluminya dan meminta DEMA untuk menyiapkan acara semampu mereka. Kemudian, setelah satu jam menunggu di depan bagian tamu dan di bawah terik matahari, salah satu dari staf DEMA mengabarkan bahwa acara sudah siap dilaksanakan. Rombongan pun bersyukur, karena acara ini akhirnya dapat dimulai, dengan segala keterbatasan dan keterburu-burannya.
Acara workshop berjalan dengan lancar,sekalipun tidak seperti apa yang kami alami di pondok putri 3. Pertanyaan-pertanyaan yang ada juga cukup bagus, dan ada beberapa wajah yang familiar bagi penulis di antara audiens yang hadir yang mana penulis kenali karena mereka adalah orang-orang yang sering berkunjung ke ISID untuk mengikuti seminar.
Terlepas dari hal-hal tersebut, penulis menaruh respek yang besar terhadap etos kerja dan semangat yang dimiliki oleh kawan-kawan di putri 1. Hanya dalam waktu kurang dari 1 jam mereka dapat mempersiapkan acara ini. Jauh lebih baik daripada tempat-tempat lain yang sudah dikunjungi rombongan PKU di Indonesia. Di tempat lain yang sudah dikunjungi rombongan PKU, meskipun pemberitahuan sudah jauh-jauh hari sebelumnya, kesiapannya masih kalah dari kawan-kawan di pondok putri 1. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun di tengah tekanan, mereka masih mampu untuk mengatasinya, benar-benar sesuai dengan filosofi singa yang sudah diutarakan oleh Ust Hidayatullah kepada kami.
Dan pada akhirnya, tentu saja masing-masing pondok memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, karena memang sistem pendidikan yang ada di dalam pondok masih merupakan hasil ijtihad yang belum mempunyai rujukan baku. Pondok di sini, menurut Ust Hidayatullah, adalah laboratorium yang terus melakukan penelitian demi kemajuan laboratorium tersebut.
Di sini juga penulis dapat lebih memahami, bahwa pondok putri 1 dan pondok putri 3 memang tidak dapat disamakan, karena banyak aspek-aspek di dalamnya yang berbeda satu dan yang lainnya. Maka dari itu, banyak dari santriwati pondok putri 3 tidak ingin pondok mereka disebut “Mantingan 3”. Wallahu a’lam bisshowab…
Selasa, Mei 03, 2011
Workshop di Gontor Putri 1 dan 3, Luar Biasa!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar