Sabtu, April 30, 2011

Ratapan Singkat: Kuliah di Kampus Bergengsi

Banyak orang menganggap, bahwasanya kuliah di universitas bergengsi di negeri ini merupakan suatu kebanggaan. Mungkin, anggapan tersebut bisa jadi ada benarnya bagi beberapa orang. Namun menurut pandangan penulis, hal tersebut tidak sepenuhnya benar (jika tidak bisa dikatakan salah).
Penulis tidak akan berpendapat demikian tanpa adanya bukti-bukti otentik empiris yang rasional. Nalar penulis berusaha mencerna tiap fenomena yang ada dan dapat diselidiki oleh kemampuan manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna.
Bukti-bukti tersebut berupa pengamatan langsung di lapangan, hasil observasi dan pendapat beberapa rekan yang sudah menjalani kehidupan perkuliahan di universitas-universitas di luar sana (baca: bergengsi). Sejatinya, menuntut ilmu di bangku kuliah dapat dilakukan di manapun, terlepas dari ruang dan waktu, entah di kota besar ataupun kecil, di universitas bergengsi ataupun tidak, dalam ataupun luar negeri. Namun tidak bisa dipungkiri, kebanyakan orang akan berpendapat bahwa kuliah di universitas bergengsi adalah suatu kebanggaan tersendiri. Hal ini dimaklumi, karena Maslow pun sudah memasukkan prestise sebagai salah satu kebutuhan hidup manusia, sehingga wajar saja jika banyak manusia beranggapan demikian. Selain bangunan yang megah, nama besar dan mahasiswa yang puluhan ribu jumlahnya tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi seseorang untuk menimba ilmu di universitas bergengsi. Motivasi keterjaminan kerja pun tak luput dari daya tarik universitas-universitas bergengsi di negeri ini.
Sampai di sini, mungkin anggapan orang tersebut belum bisa disalahkan, karena memang tidak ada yang salah dalam argumen tersebut. Namun di sini, penulis memiliki beberapa kegelisahan tersendiri terkait argumen tersebut.
Kegelisahan tersebut berawal dari pandangan awal penulis terhadap universitas-universitas bergengsi. Terpengaruh oleh cerita dari teman sejawatnya, penulis merasa bahwa kuliah di universitas-universitas tersebut merupakan suatu hal yang wah, hal itu terus mengusik perasaan dan hati penulis, sehingga menimbulkan kegelisahan yang cukup membingungkan. Suatu ketika, penulis berkesempatan untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai fenomena tersebut, yaitu dengan mengunjungi langsung beberapa universitas bergengsi di dalam negeri.
Dalam kunjungannya,penulis bertemu dengan beberapa civitas akademika dengan sifatnya yang bermacam-macam, lengkap dengan pendapat masing-masing mengenai kampusnya. Selain itu, penulis dapat mengobservasi langsung kultur yang ada di kampus-kampus tersebut, sehingga penulis dapat melihat perbandingan dari masing-masing kampus.
Yang pertama kali menjadi perhatian penulis adalah hal kedekatan dosen dengan mahasiswa. Di kampus penulis, kami para mahasiswa terbiasa berkonsultasi langsung dengan para dosen yang ada di lingkungan kampus, bahkan tidak hanya di area kampus saja, namun kami terbiasa berdiskusi di rumah-rumah beliau. Dosen sangat care terhadap para mahasiswanya. Hal yang kontradiktif terjadi di lingkungan kampus-kampus bergengsi. Berdasarkan observasi dan wawancara langsung dengan kalangan civitas akademikanya, dosen di sana tidak seperti dosen yang ada di kampus kami. Untuk berkonsultasi dengan dosen sangat sulit. Entah dosen tersebut memiliki kesibukan lain, atau yang lainnya. Dosen pun tidak ingin menerima mahasiswa yang ingin berkonsultasi di rumahnya, kecuali beberapa orang saja. Memang tidak semua dosen seperti itu, dan bias jadi hanya beberapa oknum dosen saja yang berperilaku seperti itu, namun hal ini seperti menegaskan bahwa ada beberapa dosen di kampus-kampus bergengsi yang sudah disibukkan oleh kesibukannya sendiri sehingga kurang memiliki waktu untuk mahasiswanya. Selain itu, ruhl mudarris nya terkesan kabur, tidak menonjol dan terkadang kalah oleh unsur-unsur materi. Yang perlu dicatat, tidak semua dosen memang berorientasi seperti ini, namun dengan adanya beberapa orang dosen yang berperilaku seperti ini, memperjelas bahwa sistem pendidikan yang ada di kampus-kampus bergengsi masih kurang memperhatikan aspek ruhiyah nya.
Hal lain yang menimbulkan kegelisahan penulis adalah masalah kultur. Kultur yang ada di kampus bergengsi di Indonesia banyak yang sudah melenceng dari kultur-kultur ketimuran yang identik dengan kultur Islam dan berpaling kepada kultur barat yang menjunjung tinggi liberalism dan persamaan. Hal yang dapat dinilai penulis di sini mungkin masih sangat sempit, namun dari situ penulis berusaha untuk seobjektif mungkin dalam melakukan penilaian. Sebagai contoh mudahnya adalah masalah berpakaian. Banyak kampus bergengsi di Indonesia yang standar pakaiannya sangat rendah. Para mahasiswa dibebaskan memakai pakaian apa saja ketika perkuliahan berlangsung, termasuk pakaian yang minim bahan sekalipun. Para muslimahpun tidak lepas dari kultur yang sudah dipengaruhi barat tersebut. Banyak dari mereka yang berjilbab namun berpakaian layaknya mereka telanjang. Sekilas memang kepala mereka ditutup dengan jilbab, namun pakaian yang mengisyaratkan lekuk tubuh dengan jelas membuat jilbab dengan model pakaiannya tidak mencerminkan suatu keserasian, dan yang jelas tidak memenuhi syarat sebagai pakaian muslimah yang sesuai syarat. Selain dari pakaian, pergaulan antar laki-laki dan perempuan di kampus-kampus bergengsi sudah terkesan kelewatan. Nyaris tidak ada batasan, hingga di kampus Islam sekalipun. Sekali lagi, pengaruh kultur barat memang telah menghegemoni kampus-kampus bergengsi di negeri ini, termasuk kampus-kampus Islam.
Poin selanjutnya sebenarnya lebih terkhusus kepada kampus-kampus bergengsi berlabelkan Islam. Ketika kampus-kampus tersebut melabelkan “universitas Islam” dalam identitasnya, tentu saja yang diharapkan adalah terwujudnya akademisi-akademisi muslim yang dapat memperjuangkan Islam di masa yang akan datang. Tentu saja harapan ini disertai dengan asas-asas ketauhidan yang kuat, pemahaman akan syariat dan tentu saja aplikasi nilai-nilai Islami dalam kehidupannya. Namun yang terjadi saat ini jauh dari apa yang telah diharapkan. Banyak universitas-universitas Islam yang membuka fakultas umum namun kurang menanamkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Materi kuliah hanya ditekankan pada ilmu-ilmu umum tanpa memperhatikan ilmu-ilmu Islam di dalamnya. Padahal, tujuan dibukanya fakultas-fakultas umum dalam universitas Islam adalah mencetak ilmuwan-ilmuwan yang meletakkan prinsip-prinsip Islam sebagai asas pemikirannya, sehingga akan muncul Ibnu Sina-Ibnu Sina baru di kancah keilmuan modern. Di sini terlihat kelemahan universitas-universitas Islam dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang ada. Kurikulum mereka masih mengikuti kurikulum-kurikulum universitas-univerisitas sekuler, sehingga masih jauh dari upaya Islamisasi. Implikasi dari hal ini adalah munculnya sarjana-sarjana dari universitas Islam, namun tidak paham akan Islam itu sendiri.
Di fakultas agama Islam, yang mendalami Islam itu sendiri, muncul masalah lain yang tak kalah rumitnya, yaitu munculnya virus liberalisme. Ironisnya, virus tersebut dibawa oleh dosen-dosen mereka sendiri. Fakultas agama Islam yang diharapkan dapat membela agamanya di masyarakat, justru dididik untuk mengkritik agamanya. Mereka dituntut untuk bersikap skeptis terhadap agamanya dan didoktrin bahwa kebenaran itu bersifat relatif, sehingga tidak ada agama yang paling benar. Di sini, mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa agama itu tidak absolut dan kebenaran adalah milik semua agama. Ini tentu saja menjadi semacam ironi di tengah-tengah upaya untuk mendalami Islam. Kembali westernisasi telah menjangkiti kalangan akademisi di kampus-kampus tersebut.
Yang lebih memprihatinkan, ada beberapa kampus-kampus Islam bergengsi yang tidak menjadikan jilbab sebagai kewajiban dalam berpakaian. Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa kampus yang notabene berlabelkan Islam tidak mewajibkan mahasiswinya untuk mengenakan jilbab. Hal ini semakin memperjelas hegemoni barat dalam kampus-kampus Islam di negeri ini. Keinginan untuk memperbanyak jumlah mahasiswa telah meruntuhkan kewajiban beragama pada para pembesar kampus. Mereka tidak ingin para mahasiswanya berkurang hanya karena kewajiban berjilbab.
Terlepas dari hal-hal tersebut, sebenarnya masih banyak kebaikan yang dapat didapat di tempat-tempat tersebut. Tidak dapat dipungkiri, kampus-kampus yang “bergengsi” tentu saja memilki kualitas dan kelebihan tersendiri. Tergantung bagaimana para mahasiswanya menyikapi dan berbuat di dalamnya. Menurut penulis, hal terpenting adalah prinsip. Jika seorang mahasiswa sudah memilki prinsip yang kuat, maka di manapun dia berada maka akan dapat meraih kebaikan dan manfaat.
Dan hal terakhir yang menjadi perhatian penulis, sebenarnya hanyalah gurauan belaka, namun memiliki arti yang cukup mendalam. Ketika itu, penulis bertanya kepada salah satu kawan yang sudah menjadi mahasiswa di salah satu kampus bergengsi di Malang, “cariin cewek di sini donk, sapa tau ada yang bisa dijadiin istri…”, dengan spontan kawan penulis tersebut menjawab “wah, kalo nyari cewek buat dijadiin istri, jangan nyari di sini, cari di Mantingan aja!”. Wallahu a’lam.

1 komentar:

Izdiyan mengatakan...

setuju banget......, yang penting hasilnya ya..., ane jg ga pernah main ke rmh ustadz2 ane :D