Akhir-akhir ini, tengah ramai deperbincangkan masalah pencucian otak, khususnya di kalangan mahasiswa. Pencucian otak yang terjadi akhir-akhir ini ramai diisukan sebagai gerakan dari sempalan NII KW 9, dikatakan sempalan karena memang gerakan ini bukan gerakan yang resmi bernaung di bawah NII KW9, namun hanya mengatasnamakan saja. Perekrutan ini pun sudah banyak meresahkan masyarakat, khususnya para orang tua mahasiswa.
Bagaimana tidak, mahasiswa yang sudah direkrut biasanya akan dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahui lokasinya dan para korbanpun diminta untuk menyerahkan uang kepada “pencuci otak”nya dengan dalih untuk pengembangan Negara Islam atau untuk jihad. Karena status mereka adalah mahasiswa yang notabene belum berpenghasilan, maka mereka diminta untuk berbohong kepada orang tua mereka untuk meminta uang, entah dengan dalih untuk membayar uang kuliah, ataupun untuk mengganti laptop temannya yang hilang. Jika ditelusuri lebih lanjut, fenomena ini ternyata memang beroperasi di kalangan mahasiswa saja. Gerakan ini menyusup ke dalam kampus melalui lembaga-lembaga dakwah yang ada kampus untuk kemudian merekrut anggota dari dalamnya. Umumnya, target mereka adalah mahasiswa-mahasiswa fakultas umum yang tidak terlalu paham akan ajaran agama Islam yang sebenarnya. Dan jika mereka sudah berhasil merekrut satu orang atau dua orang, maka akan memudahkan jalan mereka untuk mengembangkan jaringannya di kampus tersebut. Orang tersebut akan merekrut kawan dan saudara-saudara dekatnya, dan dari situlah gerakan tersebut meluas.
Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi. Di tengah keinginan para mahasiswa untuk lebih mendalami Islam, justru ada orang yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyesatkan pemikiran dan pemahaman mereka. Tentu saja para mahasiswa yang menjadi korban itu pada awalnya ingin mengenal Islam, namun dengan kelihaian dan kecerdikan mereka memutar balikkan fakta dan realita, mereka dapat mencuci otak para korbannya tersebut.
Di sini, peran lembaga dakwah kampus pun dipertanyakan. Tidak ada yang mengharapkan bahwa akan timbul dari dalam lembaga dakwah tersebut sebuah anggota sempalan yang merugikan mahasiswa. Terlihat di sini ada kelengahan dari mereka untuk mengantisipasi hal-hal semacam ini. Mungkin memang sulit, apalagi di tengah mahasiswa yang ribuan jumlahnya, tapi tentu saja hal ini menjadi sebuah ironi ketika ada satu orang saja yang berhasil menyelinap masuk dan mempengaruhi mahasiswa lain. Hal ini perlu dicatat dan diperhatikan secara seksama, agar lembaga-lembaga dakwah yang ada di kampus lebih awas dan berhati-hati terhadap anggotanya yang mencurigakan.
Selain itu, pihak kampus pun harus lebih hati-hati dalam memantau keberadaan orang-orang yang mencurigakan di kampusnya. Tak bisa dipungkiri, di kampus yang mahasiswanya berjumlah puluhan ribu tentu saja akan sangat sulit untuk mengantisipasi hal tersebut, namun dengan pengawasan yang lebih intens disertai dengan kerjasama dengan pihak orang tua, maka fenomena ini dapat diminimalisir. Di sini, langkah-langkah yang sudah ditempuh pihak kampus sejauh ini sudah tepat.
Satu hal lagi yang turut jadi perhatian penulis, kurangnya pemahaman mahasiswa akan hakekat Islam. Inilah yang setidaknya perlu ditanamkan secara mendalam di diri tiap mahasiswa. Banyak mahasiswa kita yang belum begitu paham akan hakekat Islam. Dengan tabiat mahasiswa yang curiositynya begitu tinggi, wajar saja jika kemudian mereka beralih ke orang-orang yang mereka anggap paham agama, sekalipun orang-orang tersebut pada kenyataannya menyesatkan mereka. Hal ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam saat ini, mampukah pemahaman agama ini disebarkan kepada masyarakat luas, sehingga pengaruh-pengaruh sesat seperti ini dapat diminimalisir.
Lembaga dakwah kampus di sini dapat kembali mengambil peranan. Dilihat dari namanya, jelas tugas utama mereka adalah berdakwah di kampus. Gerakan dakwah mereka pun bisa bermacam, antara lain dengan dakwah verbal, maupun dengan perbuatan. Di sini, jangkauan mereka tentu saja harus mencakup seluruh mahasiswa, tidak hanya para anggota saja. Mereka mungkin dapat menyebarkan suatu buletin atau artikel-artikel tentang Islam, sehingga para mahasiswa dapat mengetahui dan mengenal Islam lebih dalam.
Selain itu, pihak kampus dapat lebih mengambil peran dalam pemahaman Islam lebih dalam kepada para mahasiswanya. Hal ini mungkin dapat ditindaklanjuti dengan penambahan beberapa mata kuliah keislaman ke dalam kurikulumnya. Selain itu, pihak kampus dapat mewajibkan ujian agama atau sejenisnya dalam ujian masuknya, sehingga para mahasiswapun terdorong untuk memahami agamanya lebih dalam.
Terlepas dari itu semua, masih banyak tantangan-tantangan yang perlu dihadapi oleh umat Islam. Fenomena pencucian otak ini tentu saja menjadi suatu keprihatinan tersendiri. Diperlukan langkah-langkah konkrit agar fenomena ini dapat di atasi. Dan tentu saja, dibutuhkan peran semua pihak agar hal ini dapt diatasi. Wallahu a’lam.
Sabtu, April 30, 2011
Fenomena Pencucian Otak di Kalangan Mahasiswa, Sebuah Refleksi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar