Dalam banyak
kesempatan, orang-orang liberal menggunakan ijtihad Khalifah Umar Bin Khattab
ra. sebagai argumen mereka dalam melegalkan kontekstualisasi hukum Islam. Mereka
melihat bahwa Umar seringkali melihat kondisi sosio historis masyarakat Islam
pada saat itu untuk menentukan suatu hukum. Seperti ketika Umar memutuskan
untuk tidak memotong tangan pencuri, karena adanya kondisi paceklik di beberapa
daerah ketika itu. Menurut kaum liberal, Umar sudah menafikan teks dan beralih
ke konteks dari ayat hudud tersebut. Mereka berargumen bahwa Umar adalah
seorang yang mengedepankan akalnya ketimbang nash ilahiyyah dalam
menentukan hukum suatu perkara. Dari sini, mereka mengusung kaidah ushul fiqh “al-ibratu
bil maqashid laa bil alfazh”. Jika ijtihad Umar ini dipahami demikian, maka
argumen mereka bisa jadi ada benarnya.
Namun demikian,
ternyata orang-orang liberal sudah melakukan kesalahan yang fatal. Dalam memahami
ijtihad Umar mereka hanya melihat kasus ini secara parsial dan tidak membahasnya
sebagai satu kesatuan yang utuh dan mendalam. Mereka hanya mencari-cari argumen
yang dapat dipergunakan untuk memperkuat pendapat mereka bahwa dalam penentuan
hukum harus lebih mengedepankan akal dan kondisi sosio historis suatu zaman. Untuk
mendapatkan argumen tersebut, mereka telah mengalami apa yang disebut dengan ‘kerancuan
metodologis’, di mana mereka tidak melihat kasus ijtihad Umar secara
komprehensif. Selain itu, ada indikasi ‘kecacatan epistemologis’ di mana mereka
tidak mendudukkan ijtihad sebagai satu istilah yang utuh, melainkan hanya
memaknai ijtihad sesuai kepentingan mereka. Di sini, terlihat mereka berniat
menjadikan ijtihad Umar sebagai ‘pedang’ untuk ‘membantai’ eksistensi hukum
Islam yang sudah ada.
Dalam melihat kasus
ini, diperlukan pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif. Ketika digunakan terminologi
‘ijtihad’, maka harus diketahui terlebih dahulu apa itu ijtihad dan bagaimana
ijtihad itu. Ijtihad adalah pengerahan usaha dari mujtahid untuk memperoleh
tingkat zhann terhadap hukum syara’. Dari pengertian tersebut, terlihat
yang berhak untuk berijtihad adalah mujtahid, di mana mujtahid adalah seorang
faqih yang memahami Islam secara utuh, mulai dari ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul
hadits, pengetahuan bahasa Arab, fiqh dan ushul fiqh dan lain sebagainya. Seorang
mujtahid harus benar-benar memahami dalil-dalil fiqh, cara penggunaannya dan
memenuhi kriteria-kriteria mujtahid.
Dalam kasus ijtihad
Umar, Umar tidak hanya menggunakan pertimbangan akan belaka. Seperti yang sudah
diketahui bahwa Umar merupakan salah satu sahabat yang sudah mendapatkan
otoritas dari Rasulullah SAW untuk menjelaskan hukum-hukum Islam. Sebagai
contoh kasus had sariqoh yang terjadi pada masa kekhalifahan beliau. Dalam
memahami kasus pencurian yang terjadi dalam kondisi paceklik tersebut, Umar
menganalisa apakah si pencuri memang dalam keadaan darurat atau melakukannya
dengan sengaja. Untuk itu, Umar menggunakan kaidah fiqhiyyah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda “Idrra’uu
al-hudud bi al-syubuhat” (Tinggalkanlah
sanksi sebab adanya syubhat). Dalam kondisi ini, Umar juga berpendapat bahwa
perkara yang diharamkan bisa dimaafkan karena “al-dharuurah tubiihul
mahzhuuraat”.
Di sini, dapat disimpulkan
bahwa Umar tidak serta merta memutuskan suatu hukum tanpa mempertimbangkan nash
ilahiyah sama sekali. Argumen orang liberal yang menyatakan bahwa Umar hanya
mengedepankan akalnya saja telah batal, karena Umar ra. Juga merujuk kepada
hadits nabawiyyah dalam penentuan hukumnya. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar