Sabtu, September 21, 2013

Ijtihad Umar Sebagai Argumen Liberalisasi Hukum Islam, Tepatkah?

Dalam banyak kesempatan, orang-orang liberal menggunakan ijtihad Khalifah Umar Bin Khattab ra. sebagai argumen mereka dalam melegalkan kontekstualisasi hukum Islam. Mereka melihat bahwa Umar seringkali melihat kondisi sosio historis masyarakat Islam pada saat itu untuk menentukan suatu hukum. Seperti ketika Umar memutuskan untuk tidak memotong tangan pencuri, karena adanya kondisi paceklik di beberapa daerah ketika itu. Menurut kaum liberal, Umar sudah menafikan teks dan beralih ke konteks dari ayat hudud tersebut. Mereka berargumen bahwa Umar adalah seorang yang mengedepankan akalnya ketimbang nash ilahiyyah dalam menentukan hukum suatu perkara. Dari sini, mereka mengusung kaidah ushul fiqh “al-ibratu bil maqashid laa bil alfazh”. Jika ijtihad Umar ini dipahami demikian, maka argumen mereka bisa jadi ada benarnya.

Namun demikian, ternyata orang-orang liberal sudah melakukan kesalahan yang fatal. Dalam memahami ijtihad Umar mereka hanya melihat kasus ini secara parsial dan tidak membahasnya sebagai satu kesatuan yang utuh dan mendalam. Mereka hanya mencari-cari argumen yang dapat dipergunakan untuk memperkuat pendapat mereka bahwa dalam penentuan hukum harus lebih mengedepankan akal dan kondisi sosio historis suatu zaman. Untuk mendapatkan argumen tersebut, mereka telah mengalami apa yang disebut dengan ‘kerancuan metodologis’, di mana mereka tidak melihat kasus ijtihad Umar secara komprehensif. Selain itu, ada indikasi ‘kecacatan epistemologis’ di mana mereka tidak mendudukkan ijtihad sebagai satu istilah yang utuh, melainkan hanya memaknai ijtihad sesuai kepentingan mereka. Di sini, terlihat mereka berniat menjadikan ijtihad Umar sebagai ‘pedang’ untuk ‘membantai’ eksistensi hukum Islam yang sudah ada.

Dalam melihat kasus ini, diperlukan pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif. Ketika digunakan terminologi ‘ijtihad’, maka harus diketahui terlebih dahulu apa itu ijtihad dan bagaimana ijtihad itu. Ijtihad adalah pengerahan usaha dari mujtahid untuk memperoleh tingkat zhann terhadap hukum syara’. Dari pengertian tersebut, terlihat yang berhak untuk berijtihad adalah mujtahid, di mana mujtahid adalah seorang faqih yang memahami Islam secara utuh, mulai dari ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul hadits, pengetahuan bahasa Arab, fiqh dan ushul fiqh dan lain sebagainya. Seorang mujtahid harus benar-benar memahami dalil-dalil fiqh, cara penggunaannya dan memenuhi kriteria-kriteria mujtahid.

Dalam kasus ijtihad Umar, Umar tidak hanya menggunakan pertimbangan akan belaka. Seperti yang sudah diketahui bahwa Umar merupakan salah satu sahabat yang sudah mendapatkan otoritas dari Rasulullah SAW untuk menjelaskan hukum-hukum Islam. Sebagai contoh kasus had sariqoh yang terjadi pada masa kekhalifahan beliau. Dalam memahami kasus pencurian yang terjadi dalam kondisi paceklik tersebut, Umar menganalisa apakah si pencuri memang dalam keadaan darurat atau melakukannya dengan sengaja. Untuk itu, Umar menggunakan kaidah fiqhiyyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda “Idrra’uu al-hudud bi al-syubuhat” (Tinggalkanlah sanksi sebab adanya syubhat). Dalam kondisi ini, Umar juga berpendapat bahwa perkara yang diharamkan bisa dimaafkan karena “al-dharuurah tubiihul mahzhuuraat”.

Di sini, dapat disimpulkan bahwa Umar tidak serta merta memutuskan suatu hukum tanpa mempertimbangkan nash ilahiyah sama sekali. Argumen orang liberal yang menyatakan bahwa Umar hanya mengedepankan akalnya saja telah batal, karena Umar ra. Juga merujuk kepada hadits nabawiyyah dalam penentuan hukumnya. Wallahu A’lam.

0 komentar: